Pembelajaran Mendalam Bukan Garis Final

  • Bagikan
Ilustrasi. (INT)

Oleh: Saharuddin
(Kepala Departemen Kurikulum Sekolah Islam Athirah)

Dalam naskah akademik pembelajaran mendalam (selanjutnya ditulis PM), PM didefinisikan sebagai pendekatan yang memuliakan dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik dan terpadu.

PM sebagai pendekatan menggandeng kata memuliakan yang perlu dipahami, didalami dan ditaati oleh para pendidik yang akan menggunakan pendekatan ini dalam pembelajaran dan pendidikan murid.

Memuliakan ini erat kaitannya dengan paradigma memanusiakan dan mindset bahwa murid adalah manusia dengan hak yang sama persis dengan orang dewasa yang butuh dihormati dan diperlakukan setara, bukan mentang-mentang tubuh mereka kecil dan berusia muda kita jadi memandang mereka adalah manusia mini dengan hak yang mini(m) pula.

Sehingga relasi yang terjalin antara guru-murid bukanlah relasi transaksional dan otoritatif, melainkan relasi yang lebih kolaboratif dan partisifatif.

Mindset inilah yang kemudian akan bergerak spiral menyentuh ranah knowset dan skillset untuk memungkinkan terciptanya suasana belajar dan proses pembelajaran yang berkesadaran, bermakna dan menggembirakan sebagaimana dalam definisi PM pada naskah akademiknya.

Penting pula kita menggarisbawahi ke-holistik-an dari pendekatan ini yang tidak hanya melulu mengenai oleh pikir (intelektual) tetapi juga olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik).

Hal ini juga seharusnya lagi-lagi membentuk mindset kita dalam memandang murid sebagai manusia yang utuh, yang bukan hanya otaknya yang perlu diberi makan tetapi juga jiwa, perasaan dan tubuh fisiknya (jasad). Implikasi dari paradigma holistik ini adalah pembelajaran yang semakin kaya, menyeluruh dan berkembang.

Hal yang cukup penting dalam PM ini adalah disebutkannya secara ekskpisit etika dan adab, yang selama ini banyak tergerus dan terlupakan dalam pendidikan kita. Ungkapan ‘adab dulu baru ilmu’ kiranya mendapat tempat pada PM.
Belum lagi jika kita berbicara estetika dan kinestetik dua hal yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, perasaan yang peka: peka dan peduli pada kondisi di sekitarnya, peka pada keindahan, peka pada perasaan orang lain; serta tubuh yang sehat dan bugar.

Setelah hal-hal fundamental tersebut di atas beres, barulah kiranya kita bisa menelisik lebih jauh kerangka PM yang titik bidiknya adalah delapan dimensi profil lulusan, dengan tiga prinsip berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan; tiga pengalaman belajar (siklus memahami, mengaplikasi dan merefleksi), yang ditopang dengan kerangka yang kokoh meliputi praktik pedagogis, pemanfaatan teknologi digital, lingkungan belajar dan kemitraan pembelajaran.

Ekosistem pembelajaran yang hendak dibangun tentulah sangat dinamis dan penuh tantangan, sebagai sebuah pendekatan PM tentu bukanlah garis finish dan patokan absolut dan kaku.
Melihat kerangka PM, peluang pendidik dan pemangku kepentingan lainnya terbuka lebar dalam rangka menyempurnakan, mengembangkan, memperkaya, memodifikasi , menginterpretasi dan mengaplikasikannya secara konkrit (melalui model, metode, media, teknik dan strategi pembelajaran, bahkan bisa dikombinasikan dengan pendekatan pembelajaran lainnya) di ruang-ruang kelas sesuai karakteristik, kapasitas dan kebutuhan masing-masing.

Dalam memandang PM sebagai rumah besar yang membebaskan (memerdekakan) maka sah-sah saja untuk menambahkan bebera hal ke dalamnya. Penulis memandang bahwa PM akan sangat bisa dikaitkan dengan pola I-CARE, sebuah model pembelajaran dari Australian yang meliputi Introduction (Pengenalan), Connection (Hubungan), Application (Aplikasi), Reflection (Refleksi) dan Extention (Perluasan) mengingat I-CARE ini sangat kuat pada ranah aplikasi dan refleksi.

Selain itu, PM boleh pula kita ujicobakan dengan pola TANDUR, model pembelajaran yang diajukan dalam pembelajaran kuantum (quantum learning and quantum teaching). TANDUR sendiri adalah singkatan dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan. Pola ini akan sangat berkorelasi dengan tiga prinsip PM (berkesadaran, bermakna, menggembirakan).

Selanjutnya, kita pun bisa menghubungkan PM ini dengan 10 tombol motivasi ala Irfan Amali yang memandang murid akan mampu digerakkan layaknya mobil jika guru tahu tombol-tombol yang bisa mengaktifkan dan mengakselerasinya. Kesepuluh tombol motivasi itu meliputi: Kesenangan, Kebanggaan, Keingintahuan, Minat, Tujuan (Purpose), Kebutuhan, Manfaat, Tantangan, Keyakinan dan Makna.

Dalam praktik pedagogis guru hal-hal yang telah dibahas di atas menurut hemat penulis amatlah membantu meningkatkan engagement dan kualitas pembelajaran. Hal terakhir yang ingin penulis ajukan dalam esai ini adalah perlunya kita mendalami dan menyelami taksonomi-taksonomi yang beragam lalu mengintegrasikannya secara tepat dan efektif.

Dalam PM terdapat dua taksonomi yang diangkat sebagai contoh yakni taksonomi Bloom dan taksonomi SOLO, tentu masih banyak taksonomi lain yang perlu di kaji, termasuk penulis memandang integrasi taksonomi ini dengan Piramida Maslow, yang akan menghadirkan nuansa social-emosional-psikologis dalam pembelajaran, sehingga kesehatan dan kesejahteraan mental murid bisa ikut diperkuat.

Pembelajaran mendalam adalah sebuah ikhtiar untuk melangkah maju, tanpa harus menutup diri dari penyesuaian dan penyempurnaan. Pembelajaran mendalam akan segera masuk tahap implementasi, dari sana kita akan uji dan buktikan efektivitasnya. Apa pun itu, tetaplah jadi guru yang baik, berkompetensi dan berdedikasi.

Deep Learning bukan hal terakhir yang akan muncul dari langit-langit Kementerian, tangkap saja dengan hati-hati asal jangan tertimpa atau kena timpuk. Seperti kata Pak Mentri Mu’ti, ‘buat apa Menteri baru kalau tak ada kebijakan baru’. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan