63 TAHUN PROF MUSAFIR PABABBARI

Di mata mahasiswanya, ia adalah sosok yang humaliter dan egaliter. Di kelas, ia tak penah menempatkan dirinya secara hierarkis, dosen-mahasiswa. Dalam mengajar, ia menerapkan metode, learning how, bukan learning something.
Baginya, setiap subjek belajar harus berada pada intensi yang sama agar iklim belajar menjadi hidup dan aktif.
Adapun jejak intelektualnya dapat ditelusuri melalui artikel-artikelnya yang dapat diakses lewat “google scholar”, sedangkan buku-bukunya dapat diperoleh di tokoh buku terdekat. Gagasannya yang paling orginal dan fenomenal adalah kritiknya terhadap tesis umum bahwa “elite agama dapat memengaruhi preferensi politik masyarakat.”
Namun, dalam penelitiannya di Sulawesi Barat, ia justru menemukan fakta yang sebaliknya. Elite agama tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan politik warga. Dengan kata lain, fakta di tempat ini merupakan anomali dan anti-tesis dari tesis sebelumnya. Olehnya itu, baginya, suatu teori besar (grand theory) tidak dapat diuniversalisasi. Selalu ada “konteks” dalam setiap justifikasi (judgement) teori sosial. Dan, justru “kontekslah” yang mendeterminasi perilaku sosial dan politik. Sementara, konteks sendiri selalu bersifat cair dan negoisatif, tidak pernah beku dan statis.
Tangga-tangga karier struktural
Sejak diangkat menjadi dosen kementerian agama tahun 1986, ia setidaknya menapaki karier struktural dari tingkat yang paling bawah, sekretaris jurusan perbadingan agama. Namun tak berselang lama, Dekan Fakultas Ushuluddin dan FIlsafat, Prof. Galib, memintanya menjadi wakilnya untuk urusan Administrasi Umum dan Perencenaan Keuangan (Wakil Dekan 2). Amanah ini pun tidak disia-siakannya. Ia bahkan mendapat apresiasi dari semua civitas akademika di lingkungan fakultasnya.