Dari desanya yang susah sinyal, kopi yang dijualnya secara daring bisa sampai ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Lulusan SMP itu kini tekun mengedukasi petani demi mimpi besar: pendidikan layak dan kemandirian ekonomi.
AGFI SAGITTIAN, Jakarta
—
UNTUK semua pendakiannya buat mencari sinyal, dia kini bisa menjual 1,5 kuintal kopi tiap bulan. Untuk tiap kilometer jalan kaki sambil memanggul kopi ke agen pengiriman terdekat, produknya sekarang telah sampai ke pulau-pulau nan jauh.
Kegigihan memang tidak pernah mengkhianati hasil. "Saya mulai dari nol besar. Kalau sekarang bisa menjual 1,5 kuintal per bulan, bagi saya, itu sudah pencapaian yang pesat,” katanya.
Ya, apalagi jika raihan itu dicapai hanya dengan mengandalkan penjualan secara daring.
Dari sebuah desa di lereng Gunung Argopuro di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, yang tak ramah sinyal.
Manis, begitulah namanya. Kata orang tuanya, dia dinamai demikian ketika lahir 25 tahun lalu agar kelak bisa jadi anak manis.
Dan, betapa nama adalah doa. Manis kini mulai mereguk buah perjuangan yang manis. Yang diraihnya setelah pandemi Covid-19 mengempaskannya. Tapi, di sisi lain, juga mempertemukannya dengan peluang yang selama ini sebenarnya ada di depan mata: kopi, di desa kelahirannya, Desa Guyangan, Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo.
Baca juga: Pemkot Surabaya Tutup 1 Kedai Kopi, Beri Surat Teguran 13 Warung Kopi
Manis yang lahir pada 2 Agustus 1995 sejak lulus SMP merantau ke Balikpapan. Tidak ada alasan khusus mengapa kota di Kalimantan Timur itu yang dipilih.
”Orang-orang di desa saya hanya pernah bilang bahwa kalau ingin merantau, pilihannya ya Jakarta, Surabaya, Bali, atau Kalimantan, khususnya Balikpapan,” ujarnya.
Di Balikpapan, Manis yang usianya saat itu sangat belia bekerja apa saja demi mendapatkan uang. Pekerjaan pertama yang dia lakoni adalah menjadi juru cuci piring di sebuah restoran. Kemudian, ikut di perusahaan multilevel marketing.
Bekerja cukup lama di sana bukannya untung, Manis justru merasa tertipu. Dia memilih berhenti dan beralih menjadi penjual produk kosmetik. Pekerjaan itu mendekatkannya dengan teknologi. Platform jual beli daring memudahkan pekerjaannya.
Baru saja menikmati hasil usaha berjualan kosmetik yang dia rintis dua tahun terakhir, datang pandemi Covid-19. Penjualannya merosot 20 persen.
Puncaknya terjadi saat diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai kota besar. Bisnis Manis jadi pahit. Anjlok hingga 80 persen.
’’Tepat sebelum Lebaran, saya berpikir tidak akan bisa bertahan dengan kondisi tersebut. Harus menanggung biaya hidup, tapi tidak ada penghasilan,” katanya.
Maka, dia memutuskan pulang kampung. Ke desa di lereng Argopuro, tanpa tahu harus melakukan apa untuk menyambung hidup.
Sampai akhirnya dia tersadar bahwa Guyangan menyimpan ’’harta terpendam” berupa komoditas kopi yang berlimpah. Berbekal jiwa survival yang sudah terasah di tanah rantau, Manis tanpa ragu memilih berbisnis kopi. ”Pakai modal sisa tabungan, saya beli kopi dari petani setempat. Lalu, belajar proses roasting, packaging, sampai memikirkan pola marketing-nya,” kata Manis.
Manis memilih Instagram dan lokapasar (marketplace) sebagai tempat jualan. Persoalannya, tak mudah mencari sinyal di desanya.
Agar bisa lancar internetan, dia harus mendaki ke dataran yang paling tinggi. Butuh waktu sekitar 45 menit, lebih lama lagi kalau sehabis hujan, untuk sampai puncak.
Di sana dia bisa menghabiskan berjam-jam untuk memantau order dan membalas pesanan. Waktunya otomatis lebih banyak dihabiskan di tempat sinyal bersemayam tersebut. Karena itu, tiap kali berburu sinyal, peralatan yang dibawanya seperti orang berangkat kamping. Mulai kompor portabel, mi instan, sampai hammock untuk tiduran.
Urusan tidak selesai di situ. Jika pesanan sudah final dan produk perlu dikirim ke customer, Manis perlu menempuh jarak 7 kilometer untuk bisa sampai ke agen pengiriman terdekat.
Manis bahkan pernah berjalan kaki menempuh jarak itu sambil memanggul paket kopi seberat 10 kilogram. Jalanan di sana masih sangat berbatu sehingga menurut dia lebih aman ditempuh dengan berjalan kaki. Terlebih saat hujan, jalanan sangat licin. Manis lebih merasa aman berjalan kaki.
”Kalau tidak hujan, saya biasanya pinjam motor saudara untuk mengantar pesanan ke ekspedisi. Tapi, kalau keseringan pinjam, saya malu juga, hehehe,” ujarnya.
Tapi, segala jerih payah itu terbayarkan kini. Kopinya terjual sampai ke Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Termasuk tentunya kota-kota di Jawa.
Manis kini juga terus mendorong edukasi bagi petani di desanya mengenai cara merawat tanaman dan produk mereka agar bisa memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Mimpinya yang lebih besar, penjualan kopi di desanya bisa menjadi modal menyukseskan pendidikan anak-anak muda di sana.
”Banyak anak petani yang putus sekolah di sini. Yang ingin saya capai berikutnya adalah pendidikan yang layak dan kemandirian ekonomi untuk anak-anak muda di sini,” katanya. Mimpi yang seperti menjustifikasi doa orang tuanya dulu. Manis yang benar-benar tumbuh jadi anak manis. (Jawa Pos)