Menurutnya ini yang jadi tantangan. Effort pemerintah tidak berkurang, namun basis pajak menyempit
“Jalu, jika melihat tantangan yang ada, apakah kita tinggal diam? Tentu tidak. Saya lebih senang meletakkan reformasi pajak sbg continuum. Perbaikan tiga level: kebijakan (policy), aturan (regulation), dan administrasi terus dilakukan, masa ke masa. Berikut historiografinya,” tutur pria kelahiran Yogyakarta ini.
Dia mempertanyakan darimana Rizal Ramli bisa mengambil kesimpulan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya berani naikkan pajak “rakyat”?
Yustinus menyebut, lewat UU HPP, yang dilakukan justru sebaliknya, yang berpenghasilan kecil dilindungi, yang berpenghasilan tinggi dipajaki lebih tinggi.
Lagi menurutnya ini sudah adil. Dia menyebut RR kurang update.
“Adil! Mungkin beliau kurang update. Takut nggak siap?,” ungkapnya.
Di sisi lain yang penting dipahami adalah Tax Expenditure (TE), merefleksikan keberpihakan kebijakan pajak Indonesia.
Tahun 2021, TE mencapai Rp299,1 T (1,76% PDB), meningkat dari tahun 2020 ya g sebesar Rp241,6T (1,56% PDB). Itu disebabkan oleh penambahan insentif terkait Covid-19.
Berdasarkan jenis pajak, TE terbesar ada pada PPN (58,5%), didominasi oleh fasilitas PPN tidak terutang untuk pengusaha kecil & pengecualian barang-barang kebutuhan dasar masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan, dapat dilihat dalam grafik.
Lebih jauh, alumnus STAN ini menjelaskan, Tax Expenditure atau belanja pajak adalah kebijakan pemerintah melalui pemberian fasilitas/insentif perpajakan agar perekonomian mendapat dukungan untuk tumbuh kembang.