Kedokteran Bukan Aritmetik

  • Bagikan
Dr Iqbal Mochtar

Oleh : Dr Iqbal Mochtar (Pengurus PB IDI dan Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur-Tengah)

KASIHAN dokter Indonesia. Segelintir masyarakat lagi nyinyir dan menohok mereka. Katanya, layanan dokter Indonesia tidak bagus dan tidak profesional. Cara komunikasinya parah. Sudah itu sok elit pula. Padahal diagnosis dan pengobatan mereka sering salah. Coba bandingkan, katanya, dengan dokter Malaysia atau Singapur. Mereka jago-jago, hebat dan profesional. Banyak diagnosis dan pengobatan dokter Indonesia diketawain mereka. Dokter Malaysia dan Singapur cukup sekali lihat dan rawat, pasien langsung sembuh. Pokoknya dimata segelintir masyarakat ini dokter asing keren dan dokter Indonesia kere. Satu diamond, satu bronze.

Dokter Indonesia perlu elus dada. Sabar. Sindiran memang tidak enak, tapi tidak perlu direspon negatif. Bisa jadi apa yang disindirkan benar, tetapi bisa juga salah.

Pertama, masyarakat berhak menilai dan membandingkan dokter. Itu hak mereka. Cuma karena mereka bukan orang medis, maka perbandingannya bisa saja subyektif. Misalnya, mereka membandingkan diagnosis dan perawatan yang diberikan dokter Indonesia dengan skema terbatas BPJS dengan diagnosis dan perawatan VIP di negara lain dengan biaya super mahal. Jelas bedalah. Dengan skema BPJS, dokter Indonesia punya keterbatasan mengelaborasi pemeriksaan yang diperlukan. Sementara diluar negeri, pasien rela kantongnya dikuras demi pemeriksaan dan perawatan yang diminta dokter asing, berapapun biayanya. Ada juga yang membandingkan diagnosis dokter yunior yang bekerja didaerah dengan diagnosis dokter super-spesialis yang bekerja diinstitusi hebat dengan alat-alat yang canggih. Tentu saja tidak fair karena yang dibandingkan bukan apel dengan apel.

Kedua, ada local flavour dalam dunia medis Indonesia. Ini terkesan semantik tetapi nyata. Di Indonesia, banyak istilah penyakit yang dibahasakan dalam bahasa lokal. Istilah stroke telinga tidak ada dalam kamus standar diagnosis medis. Tapi dokter Indonesia menggunakan istilah itu untuk menggambarkan suatu jenis ketulian yang bahasa medisnya adalah sensorineural hearing loss. Dokter Singapur pasti enggak paham istilah ini dan merasa aneh mendengar ada penyakit stroke ditelinga. Ada juga istilah angin duduk, yang bahasa medisnya adalah angina atau serangan jantung. Ini penyakit parah sebenarnya. Saat dokter Singapur mendengar diagnosis ini, pasti komennya,”Mana ada pasien gawat begini hanya didiagnosis masuk angin?”. Padahal mereka tidak paham bila itu terminologi lokal. Local flavour membuat diagnosis dokter Indonesia tampak aneh didepan dokter asing. Dan parahnya, sebagian masyarakat yang kurang paham lantas menuding diagnosis dokter Indonesia tidak tepat.

Ketiga, dari segi kemampuan kognitif, tidak ada bukti dokter asing lebih hebat dari dokter Indonesia. Belum ada studi menunjukkan bahwa IQ dokter asing lebih tinggi dari dokter Indonesia. Semua dokter memiliki kemampuan kognitif cemerlang. Bila kemampuan kognitifnya comparable, lantas mengapa diagnosis dokter Indonesia dengan dokter asing bisa beda?

Begini ceritanya. Beberapa dekade lampau, dokter hanya mengandalkan pemeriksaan fisik dalam membuat diagnosis. Modalnya hanya stetoskop. Alat medis masih amat kurang. Namun saat ini, alat medis canggih sudah menjamur. Alat-alat inilah yang paling membantu dokter membuat diagnosis saat ini. Semakin banyak dan canggih alatnya, semakin sensitif diagnosisnya. Makanya, dokter yang memiliki akses ke teknologi dan peralatan medis yang canggih lebih sensitif dalam pekerjaannya. Seorang dokter yang menggunakan alat MRI canggih tipe Tesla (7TMRI), misalnya, akan dengan mudah mendiganosis penyakit secara tepat dibanding dokter yang hanya menggunakan roentgen atau MRI biasa. Demikian pula saat melakukan operasi; sebagian dokter sudah menggunakan bantuan robot sementara yang lain masih manual. Tentu saja hasilnya beda.

Karena perbedaan kecanggihan alat ini, diagnosis antara sesama dokter bisa berbeda. Jangankan dokter antar negara, antar daerah saja bisa beda. Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara maju juga hal ini terjadi. Diagnosis yang dibuat dokter di New York bisa saja amat berbeda dengan dokter yang di Michigan. Pasalnya, yang menentukan keakuratan bukan hanya dokter tetapi juga alatnya. Istilahnya, the gun and the man behind the gun.

Keempat, bisakah dokter Indonesia keliru? Ya bisalah. Bukan hanya dokter Indonesia, dokter Inggris dan Amerikapun banyak yang melakukan kekeliruan medis. Diagnosis penyakit itu jumlahnya ribuan. Gejalanya kadang mirip dan samar-samar. Tidak jarang, bahkan setelah menggunakan alat sensitifpun, masih ada keraguan dalam diagnosis dan pengobatan. Dan ini berlaku universal bagi dokter seluruh dunia. Tahun 2019 di Inggris, NHS menerima lebih 10 ribu klaim kekeliruan medis dan harus membayar ganti rugi sebesar US 3,1 milyar. Nilai ini setara dengan 2% dari total budget NHS. Di Malaysia, menurut sebuah jurnal ilmiah, kesalahan medis bervariasi antara 12-98%, tergantung setting-nya. Kalau diambil nilai terendahnya saja, artinya dari 100 pasien yang berobat, 12 diantaranyta mengalami kesalahan medis. Hal yang sama terjadi di Singapur dan negara lain. Artinya, tidak ada negara atau tidak ada dokter yang tidak membuat kekeliruan medis.

Kelima, dokter Indonesia sangat banyak yang pintar-pintar dan hebat-hebat. Tidak kalah dengan dokter asing. Cuma dalam hidup ini, percaya atau tidak, manusia sering diselimuti faktor lucky dan unlucky. Misalnya saja, seorang dokter Indonesia mendiagnosis dan merawat 10 pasien. Ia berhasil mendiagnosis dan merawat dengan baik 9 pasien. Satu pasien tidak dapat didiagnosis dengan baik walau ia telah berusaha. Ini unlucky pertama. Unlucky kedua, keluarga pasien ini orang kaya.
Cuannya banyak dan pasien inipun dibawa periksa keluar negeri. Terungkaplan kekeliruan diagnosis dokter Indonesia. Unlucky ketiga, pasien, keluarga pasien dan dokter asing sama-sama menertawakan dokter Indonesia. Kasian banget. Padahal kekeliruan dan faktor lucky and unlucky demikian bisa terjadi pada semua dokter didunia tanpa kecuali. Apakah ada dokter asing yang bisa mendiagnosis dan merawat secara tepat 100% pasiennya? Tentu saja tidak. Disana-sini pasti ada bolongnya.

Intinya begini, kedokteran itu bukan absolute science. Tidak mudah men-judge satu dokter lebih hebat dari dokter lain hanya karena penilaian subyektif. Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi tindakan diagnosis dan penatalaksanaan. Ada begitu banyak variasi dan dinamika dalam pengobatan. Sebuah obat mungkin sangat manjur bagi pasien A namun tidak bermanfaat bagi pasien B. Padahal diagnosis kedua pasien sama. Rumus prinsip aritmetik bahwa 5+5 pasti 10 tampaknya tidak berlaku absolut didunia kedokteran. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan