FAJAR.CO.ID, TANGERANG -- Pengasuh Pondok Pesantren Daar el-Qolam KH. Ahmad Syahiduddin meninggal dunia pada Senin, 26 Februari 2024 pada usia 68 tahun.
Begitu banyak pesantren yang dibangun oleh alumni Gontor, salah satunya Daar el-Qolam yang berdiri megah di Gintung, Jayanti, Tangerang, Banten.
Daar el Qolam yang berarti Kampung Pena atau yang lebih dikenal sebagai Pondok Gintung didirikan pada tanggal 20 Januari 1968 M/27 Ramadhan 1318 H oleh Drs. K.H. Ahmad Rifa’i Arief.
Ayah Ahmad Rifai memiliki tanah sawah 2 hektare di Gintung. Sang ayah memang petani yang kalau malam menjadi guru ngaji Alquran.
Sang ayah merasa bangga ketika anaknya lulus dari Gontor. Apalagi ingin membangun sekolah di sawahnya.
Ahmad Rifai memiliki adik bernama Ahmad Syahiduddin. Ia tidak ingin ikut jejak kakaknya sekolah di Gontor. Syahiduddin lebih ingin jadi insinyur. Tapi ayahnya minta Syahiduddin sekolah di Gintung saja. Di sekolah yang didirikan kakaknya itu.
Jadilah Syahiduddin murid pertama sekolah kakaknya. Yang kurikulum dan sistem asramanya dibuat persis seperti di Gontor. Termasuk keharusan menguasai bahasa Arab dan Inggris.
Calon insinyur gagal itu pun akhirnya menguasai bahasa Arab dan Inggris. Syahiduddin rela tidak jadi insinyur untuk memenuhi keinginan ayahnya melainkan ikut jadi kiai seperti kakaknya.
"Akhirnya saya ikhlas tidak jadi insinyur. Ikhlas itu perlu dipaksa. Inilah ikhlas dalam keterpaksaan," kata Syahiduddin kepada Jurnalis Senior Dahlan Iskan, dilansir dari Catatan Harian Dahlan di Disway bertajuk 'Dendam Alumni', Senin (26/2/2024).
Sang ayah seperti sudah tahu kalau anaknya yang sekolah di Gontor itu tidak akan berumur panjang. Maka ketika sang kakak Kyai Rifa’i meninggal di usia 50 tahun pada 1997, sang adik sudah bisa meneruskan kepemimpinan di Gintung.
Termasuk meneruskan kebijakan sang kakak yakni santri perempuan dan laki-laki dalam satu kelas yang sama. Inilah satu-satunya pondok alumni Gontor yang begitu.
Syahiduddin adalah contoh "sukses juga bisa diraih di bidang yang bukan impiannya".
Sejak kecil hati Syahiduddin sudah terpaku di bidang teknik. Waktu kelas 3 SD Syahiduddin sudah mampu membuat mobil. Dalam hatinya itulah mobil terbaik di dunia. Terbuat dari kayu gabus.
Setiap berangkat sekolah buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya. Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya.
"Mobil saya itu truk. Ada bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu," kata Syahiduddin mengenang masa kecilnya.
Di tangan sang adik Pondok Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare. Daar el-Qolam menjelma menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam modern dengan format pesantren besar dengan karakteristik pesantren yang berdiri di atas dan untuk Semua Golongan.
Pondok Pesantren Daar el-Qolam telah berkembang pesat menaungi 4 institusi pendidikan yakni Daar el-Qolam 1, 2, 3 dan 4.
Untuk ukuran pondok, Daar el-Qolam ini luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas. Pepohonannya begitu rindang.
Sosok sang Kiai Syahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung.
Semua bangunan bertingkat di Gintung itu Kiai sendiri yang menggambar. Tepatnya yang merancang. "Saya menggambarnya di tanah," katanya sambil tertawa.
Tata letak gedung-gedung itu juga ia sendiri yang menentukan.
Bahkan ia sendiri yang mengemudikan alat-alat berat untuk menggali tanah. Kalau ia lagi di atas beko sama sekali tidak terlihat kekiaiannya.
Rupanya keinginan menjadi insinyur tidak pernah padam. Diam-diam ia mendalami sendiri ilmu teknik di luar bangku kuliah.
"Awalnya karena senang saja. Lalu karena marah," ujar Kiai Syahiduddin.
Karya pertamanya adalah tempat tidur bertingkat dari besi. Itulah tempat tidur made in kiai. Untuk tidur para santri. Mungkin bisa lebih barokah.
Akhirnya seluruh tempat tidur santri tidak ada yang beli. Tiap kamar berisi 5 tempat tidur bertingkat.
Berarti satu kamar berisi 10 santri. Di pondok ini kamar mandi dan toilet santri sudah di dalam masing-masing kamar.
"Kalau yang zona 3 ini ditangani insinyur beneran," ujar Kiai Sahiduddin. "Gerbangnya agak berbeda," tambahnya.
Yang dimaksud insinyur beneran adalah anak pertamanya. Sang anak memang insinyur mesin dari STTN. Ialah yang menjadi kiai di Daar el Qalam 3.
Dendam jadi insinyur rupanya ia wujudkan ke anaknya. Dendam turunan.
KH Ahmad Syahiduddin telah berpulang ke pangkuan Illahi. Almarhum akan dimakamkan di komplek Daar el-Qolam 3.
Selamat jalan kiai. Lahu Al Fatihah. (*)