FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dosen filsafat, Prof Ignatius Bambang Sugiharto menyebut anak muda di Indonesia buta huruf. Pernyataan itu ia sampaikan berdasakan sebuah penelitian.
“Anak muda Indonesia itu buta huruf,” kata Bambang dikutip dari YouTube Bandung Readers Festival (BRF), Sabtu (7/9/2024). Video itu diambil saat pembukaan BRF 2019.
Ia menjelaskan, anak muda di Indonesia buta huruf bukan dalam artian tidak bisa baca. Namun kemampuan analisisnya yang rendah.
“Artinya bisa baca. Tapi kemampuan menangkap isi bacaan itu, dan mengolah isi bacaan dan digabung menjadi bacaan lain untuk menjadi visi itu rendah sekali. Kemampuan dan analisis sintetiknya itu rendah sekali,” jelas Bambang.
“Mahasiswa tahun pertama (di Indonesia) itu levelnya hanya setara anak SMP di negara maju,” tambahnya.
Dosen Universitas Katolik Parahyangan itu mengatakan, fakta tersebut juga ida dapat selama karirnya jadi pengajar. Bahkan juga untuk mahasiswa strata 3 atau doktoral.
“Saya mengajar lebih dari 35 tahunan dan saya harus mengatakan itu betul. Bahkan sampai level doktoral pun, sering kali saya harus jadi editor untuk memperbaeki bahasa dan menata nalar para calon doktor itu,” ujarnya.
“Saya memang harus akui dan begitu rupanya,” sambungnya.
Padahal, kata dia, kemampuan baca yang rendah akibatnya fatal. Salah satunya, ia bilang adalah karakter yang emosional.
“Kemampuan baca yang rendah itu fatal akibatnya. Umumnya pemikiran kita itu picik dan dangkal yah. Dulu orang suka bilang itu sumbu pendek, dan itu benar,” terangnya.
“Masalahnya itu, apalagi sekarang di Sosmed kita bereaksi secara implusif. Emosional. Tidak mikir, tidak ada refleksikitas. Semakin ketahuan betapa picknya kita, dan betapa dangkalnya umumnya masyarakat kita. Latah dala berpikir. Maka mudah terhadut, over sensitif, dan tidak punya pendapat pribadi,” tambahnya.
Menurutnya, yang menjadi salah satu alasan sebuah negara mahu karena minat membacanya. Sementara itu tak terjadi di Indonesia.
“Yang membuat sebuah negara maju itu, itu. Yang menjadikan sebuah individu berdaya itu, culture membaca itu. Gituloh. Jadi ini soal pemberdayaan individu sebenarnya,” ucapnya.
Hal yang banyak diketahui orang dengan membaca, kata dia, seseorang bisa mendapat informasi. Namun itu hanya salah satu manfaat.
“Faktor yang lebih penting dari membaca bukan informatifnya, melainkan aspek formatifnya. Itu. Membaca itu membentuk nalar kita,” terangnya.
Ia mengibaratkan buku seperti gudang ide. Gudang yang tidak ada habisnya.
“Membaca buku menjadi penting karena dia adalah gudang ide. Berkembang terus tanpa batas. Gudang ide. Apapun terutama buku pengetahuan. Itu gudang ide,” pungkasnya.
“Sumber pengetahuan yang tidak pernah habis,” tandasnya.
(Arya/Fajar)