FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Penangkapan 11 aktivis desa Maba Sangaji di Halmahera Timur yang menolak tambang nikel di tanah adat, memicu keprihatinan mendalam di kalangan aktivis senior. Yeni Rosa Damayanti, seorang aktivis dari ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim), yang juga pernah merasakan represi di era Orde Baru, melihat peristiwa ini sebagai sinyal bahaya. Menurut Yeni, kasus penangkapan ini mengingatkan kembali pada masa-masa kelam penindasan rezim Soeharto.
“Ini adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan," ujarnya dalam acara Media Briefing Indonesia Climate Justice Summit 2025 di Mampang, Jakarta Selatan pada Selasa (5/8) pagi.
Yeni pun berharap, peristiwa penangkapan ini menjadi perhatian serius bagi banyak pihak, terutama para mantan aktivis yang kini berada di sekitar kekuasaan. Yeni bahkan secara khusus menyoroti para mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini menjabat di parlemen atau posisi penting lainnya. Ia pun mengingatkan agar mereka tidak melupakan idealisme untuk berjuang melawan penindasan.
“Ini (penangkapan 11 aktivis Maba Sangaji) harus menjadi perhatian serius bagi banyak pihak,” tutur dia.
Senada, Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zaenal Arifin mengecam keras tindakan kriminalisasi terhadap 11 aktivis desa Maba Sangaji tersebut. Zaenal menyatakan kasus ini merupakan catatan kelam baru dalam transisi energi di Indonesia, di mana hak-hak masyarakat lokal diabaikan demi kepentingan pengerukan sumber daya alam besar-besaran.
Zaenal mengungkapkan YLBHI dan tim penasihat hukum tengah melakukan pendampingan intensif terhadap aktivis tersebut. Namun, ia menyayangkan lambatnya akses terhadap berita acara pemeriksaan (BAP) yang seharusnya diberikan secara utuh kepada kuasa hukum dan korban.
Zaenal juga menyoroti pola kriminalisasi yang kerap terjadi ketika masyarakat menolak proyek-proyek ekstraktif. Menurutnya, masyarakat yang menolak dan merasa dirampas ruang hidupnya justru dijerat dengan berbagai pasal hukum.
"(Rekayasa kasus) Masyarakat dihubungkan melalui berbagai undang-undang. Misalkan kaitannya dengan perampasan karena dia menghalangi alat-alat berat untuk masuk dan merebut kunci agar alat berat tidak masuk ke ladang-ladang mereka," jelasnya.
Lebih lanjut, Zaenal Arifin melihat bahwa kasus di Maba Sangaji ini membuktikan bahwa otoritarianisme semakin nyata, ketimbang mereda. Ia menyatakan bahwa kasus-kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat adat justru semakin marak terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Maluku.
"Ini justru membuktikan bahwa otoritarianisme itu semakin nyata, bukan malah berhenti. Korban-korban kriminalisasi itu banyak terjadi di berbagai wilayah Maluku," pungkas Zaenal.
Pernyataan Zaenal ini menjadi sorotan tajam terhadap kebijakan pemerintah terkait investasi dan perlindungan lingkungan. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya partisipasi masyarakat dan penegakan hukum yang adil dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak pada lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. (bs/zak/fajar)