FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Celios meminta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaudit data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Itu ditanggapi Pengamat Politik Rocky Gerung.
Ia menjelaskan, di dalam dunia di mana data menjadi sumber validitas dari ekonomi satu negara. Maka investor akan mengusut pertumbuhan ekonomi Indonesia itu betul-betul data yang valid.
“Itu dalam soal datanya. Kedua, apakah metodologi untuk menghasilkan data itu terandal, kemampuan secara metodologis reliable. Apakah reliability dari metodologi itu bisa diperiksa secara akademis?” ujar Rocky dikutip dari YouTube Rocky Gerung Official, Senin (11/8/2025).
Dua hal tersebut, kata dia yang dipersoalkan publik. Reliability dan validitas.
“Bahwa tidak mungkinlah 5,2 persen pertumbuhan kalau kita lihat PHK terus berlangsung. Pengangguran naik terus, dan yang paling terasa ekonomi keluarga kan,” ucapnya.
Menurut Rocky, itu yang menyebabkan investor mencurigai validitas dan reliability data data dan metodologinya bermasalah. Yaitu data BPS yang diatur sehingga terlihat ekonomi tumbuh.
“Jadi kita mulai menduga, pemerintah dalam hal ini BPS, mulai bermain-main dengan data, dan itu berbahaya karena kejujuran data itu, itulah dasar dari kepercayaan investor,” pungkasnya.
“Salah satu kunci kepercayaan investor, datanya betul-betul teruji dan validitasnya bisa dipastikan, dan reliability dari metodologinya bisa diuji silang,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, menyampaikan salah satu kejanggalan yang terlihat adalah data terkait dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi atau PMTB.
Ia mengatakan, sebagai lembaga pemerintah yang tunduk pada standar statistik internasional, BPS perlu bebas dari kepentingan politik, transparan dan menjaga integritas data.
Dalam rangka merespons kejanggalan data BPS, CELIOS sebagai lembaga penelitian independen mengirimkan surat permintaan investigasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.
Bhima menyebut, inisiasi CELIOS ini menjadi upaya untuk menjaga kredibilitas data BPS yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.
“Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada Kuartal II-2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year. Kami coba melihat ulang seluruh indikator yang disampaikan BPS, dan menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi, padahal PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama," kata Bhima Yudhistira dalam keterangannya, Jumat (8/8).
Lebih lanjut, dia membeberkan dari tinjauan CELIOS, porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67 persen dibanding Kuartal I-2025 yang sebesar 19,25 persen, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi.
Bahkan, data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.
"Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen (yoy)? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi," lanjut Bhima.
(Arya/Fajar)