Ongkos Demokrasi Makin Mahal, MPR Soroti Kualitas Pemimpin

  • Bagikan
Artinya, lanjut Mahyudin, dengan biaya yang sangat mahal itulah, para calon terkadang nekat maju tapi menggunakan sponsor yang tentunya berlaku prinsip 'Tak ada makan siang gratis'. "Para sponsor tentu ingin usahanya aman, ingin tambangnya tidak jadi kasus, ingin semuanya, akhirnya apa? Ya setelah duduk kasus mulai bermunculan dan ujungnya masuk penjara," tandasnya. Sementara itu di tempat yang sama, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuono X menilai sistem demokrasi di Indonesia itu tidaklah harus mencontek negara lain. Karena bangsa ini sudah punya Pancasila. "Indonesia harus kembali ke demokrasi Pancasila sebagai jati diri bangsa. Biarkan Amerika dan Tiongkok berdemokrasi ala mereka sendiri, kita juga bisa berdemokrasi dengan ala kita sendiri," kata Sultan. Menurut Sultan, Indonesia saat ini menerapkan sistem demokrasi langsung yang terlalu kebarat-baratan. Karean demokrasi langsung ini, pada satu sisi diharapkan dapat melahirkan partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Namun di sisi lain, ongkos demokrasi model seperti ini sangat mahal. "Efeknya, barter kuasa antara kedaulatan rakyat dengan uang kandidat kepala daerah menjadi sesuatu yang sulit terhindarkan," katanya. Lebih lanjut, Sultan juga berharap, Pemilu Serentak 2019 bisa berjalan aman dan nyaman bagi masyarakat Indonesia. Termasuk, siapa pun calon presiden dan wakil presiden terpilih nanti, harus bisa diterima dengan lapang dada. "Sejatinya kata Sultan, siapapun presiden dan wakil presiden terpilih, adalah wakil dari semua lapisan masyarakat. Jadi bukan hanya mewakili para pemilih atau pendukungnya saja. Saling mengakomodir, siapa pun yang menang nanti," pungkasnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan