"Kala itu, Hamka berkeliling Sulawesi memberi pengajian sekaligus ajakan menyumbang untuk Muktamar. Hasilnya macam-macam, ada yang menyumbang uang, ada pula natura, berupa beras, sayuran, hingga hewan yang bisa disembelih," urai Hadi.
Setelah 1932, Makassar baru menjadi tuan rumah muktamar lagi pada 1971 dan 2015. Hamka juga cukup berperan dalam kelahiran Pemuda Muhammadiyah, yang diputuskan dalam Kongres Muhammadiyah 1932.
Saat tiba di Makassar pada 1931, ia prihatin melihat banyaknya kalangan muda Muhammadiyah yang antusias mengikuti kajian mubalig Ahmadiyah Zaini Dahlan. Untuk mengimbanginya, Hamka juga membuka kajian keagamaan bagi golongan muda.
Baca Juga: Jejak Buya Hamka di Makassar, 1932, Datang Urus Muktamar
"Melalui peristiwa ini pula, Hamka mencontohkan bahwa perbedaan penafsiran keagamaan tidak harus dilawan dengan persekusi, melainkan dengan jurus serupa. Kajian dilawan dengan kajian, tulisan dibalas dengan tulisan. Serta pendirian pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan yang dilakukan misionaris, juga dibalas dengan tindakan serupa," terang Hadi.
Hamka juga memiliki perhatian yang cukup besar terhadap kaderisasi mubalig. Ia merintis Tabligh School pada 1932. Sekolah ini ditujukan untuk melahirkan calon guru madrasah, mubalig, dan khatib di masjid-masjid.
Dua tahun kemudian, Tabligh school yang didirikannya berubah nama menjadi Sekolah Muallimin Muhammadiyah. Madrasah tersebut masih eksis hingga saat ini. Beberapa ulama dan cendekiawan Muhammadiyah di Sulsel berasal dari madrasah tersebut. Mantan Rektor UIN Alauddin, Prof Musafir Pababbari, salah satunya.