FAJAR.CO.ID, JAKARTA – DPR RI bersama pemerintah diminta membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang politik. Rancangan regulasi tersebut bisa berisi tiga UU sekaligus. Yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
“Kenapa nggak sekalian diusulkan saja semacam Omnibus Law politik. Ini harus dalam satu paket. Karena sangat berkaitan,” ujar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju, Din Syamsuddin saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/7).
Menurutnya, langkah revisi UU Pemilu yang kini dilakukan Komisi II DPR tidak akan menjawab apapun terkait konsolidasi demokrasi, apabila UU Parpol tak ikut direvisi juga. UU Pemilu dan UU Parpol, lanjutnya, juga harus direvisi secara bersamaan.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menyampaikan pembuatan RUU Omnibus Law tentang politik dapat mengantisipasi kemungkinan inkonsistensi produk hukum dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar hukum negara.
Ada sejumlah poin krusial yang mendapatkan sorotan dalam rancangan regulasi tersebut. Antara lain soal parliamentary threshold (ambang batas) parlemen, presidential threshold presiden, hingga wacana pembatalan menggelar pilkada secara serentak dengan pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada Pemilu 2024 mendatang. “Karena itu, ada baiknya UU tersebut dijadikan satu semacam Omnibus Law politik,” paparnya.
Seperti diketahui, DPR RI dalam waktu dekat akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada Serentak menjadi UU. Ini setelah Komisi II DPR menyetuju RUU tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pergantian UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Komisi II DPR dan pemerintah telah mengambil keputusan menyetujui Perppu tersebut. Selanjutnyam akan diambil keputusan tingkat II yaitu pada rapat paripurna DPR RI. “Paripurnanya Insya Allah segera dijadwalkan mengukuti mekanisme tata tertib di DPR. Tidak terlalu lama lagi,” kata Dasco di gedung DPR, Jakarta, Rabu (1/7).
Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020 itu menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dari September ke Desember 2020 akibat COVID -19. DPR dan Pemerintah memutuskan Pilkada serentak dihelat pada 9 Desember 2020 mendatang.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan ada tiga indikator yang harus dijaga dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi COVID-19.
Pertama, terkait tingkat partisipasi pemilih. Menurutnya, hal ini harus disosialisasikan secara masif kepada masyarakat bahwa pada 9 Desember 2020 merupakan hari pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
“Kita punya waktu enam bulan sosialisasi dan memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat. Sampaikan bahwa Pilkada dan kesehatan itu penting,” ujar Doli.
Yang kedua, perlu adanya pengawasan terhadap berbagai kecurangan dalam Pilkada. Termasuk potensi penyimpangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaannya. “Masyarakat sekarang sudah cerdas secara politik. Hal ini menjadi bagian kekuatan pengawasan bersama Bawaslu,” terang politisi Partai Golkar tersebut.
Ketiga, calon kandidat yang ikut kontestasi Pilkada Serentak 2020 harus menyampaikan visi-misinya. Karena itu, perlu forum debat kandidat. Terkait hal ini, Komisi II DPR ingin memastikan forum penyampaian visi-misi dan debat kandidat disesuaikan dengan protokol kesehatan COVID-19.
“Kesimpulannya kita sudah mengambil keputusan politik dan sudah menjadi keputusan hukum. Tinggal melaksanakannya dengan baik. Ini butuh komitmen semua elemen. Tantangannya memang cukup berat. Bagaimana alat-alat yang sudah disiapkan bisa sampai dan digunakan dengan baik sampai level paling bawah maupun masyarakat hingga nanti tanggal 9 Desember 2020,” pungkasnya.(rh/fin)