”Orang-orang di desa saya hanya pernah bilang bahwa kalau ingin merantau, pilihannya ya Jakarta, Surabaya, Bali, atau Kalimantan, khususnya Balikpapan,” ujarnya.
Di Balikpapan, Manis yang usianya saat itu sangat belia bekerja apa saja demi mendapatkan uang. Pekerjaan pertama yang dia lakoni adalah menjadi juru cuci piring di sebuah restoran. Kemudian, ikut di perusahaan multilevel marketing.
Bekerja cukup lama di sana bukannya untung, Manis justru merasa tertipu. Dia memilih berhenti dan beralih menjadi penjual produk kosmetik. Pekerjaan itu mendekatkannya dengan teknologi. Platform jual beli daring memudahkan pekerjaannya.
Baru saja menikmati hasil usaha berjualan kosmetik yang dia rintis dua tahun terakhir, datang pandemi Covid-19. Penjualannya merosot 20 persen.
Puncaknya terjadi saat diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai kota besar. Bisnis Manis jadi pahit. Anjlok hingga 80 persen.
’’Tepat sebelum Lebaran, saya berpikir tidak akan bisa bertahan dengan kondisi tersebut. Harus menanggung biaya hidup, tapi tidak ada penghasilan,” katanya.
Maka, dia memutuskan pulang kampung. Ke desa di lereng Argopuro, tanpa tahu harus melakukan apa untuk menyambung hidup.
Sampai akhirnya dia tersadar bahwa Guyangan menyimpan ’’harta terpendam” berupa komoditas kopi yang berlimpah. Berbekal jiwa survival yang sudah terasah di tanah rantau, Manis tanpa ragu memilih berbisnis kopi. ”Pakai modal sisa tabungan, saya beli kopi dari petani setempat. Lalu, belajar proses roasting, packaging, sampai memikirkan pola marketing-nya,” kata Manis.