Manis memilih Instagram dan lokapasar (marketplace) sebagai tempat jualan. Persoalannya, tak mudah mencari sinyal di desanya.
Agar bisa lancar internetan, dia harus mendaki ke dataran yang paling tinggi. Butuh waktu sekitar 45 menit, lebih lama lagi kalau sehabis hujan, untuk sampai puncak.
Di sana dia bisa menghabiskan berjam-jam untuk memantau order dan membalas pesanan. Waktunya otomatis lebih banyak dihabiskan di tempat sinyal bersemayam tersebut. Karena itu, tiap kali berburu sinyal, peralatan yang dibawanya seperti orang berangkat kamping. Mulai kompor portabel, mi instan, sampai hammock untuk tiduran.
Urusan tidak selesai di situ. Jika pesanan sudah final dan produk perlu dikirim ke customer, Manis perlu menempuh jarak 7 kilometer untuk bisa sampai ke agen pengiriman terdekat.
Manis bahkan pernah berjalan kaki menempuh jarak itu sambil memanggul paket kopi seberat 10 kilogram. Jalanan di sana masih sangat berbatu sehingga menurut dia lebih aman ditempuh dengan berjalan kaki. Terlebih saat hujan, jalanan sangat licin. Manis lebih merasa aman berjalan kaki.
”Kalau tidak hujan, saya biasanya pinjam motor saudara untuk mengantar pesanan ke ekspedisi. Tapi, kalau keseringan pinjam, saya malu juga, hehehe,” ujarnya.
Tapi, segala jerih payah itu terbayarkan kini. Kopinya terjual sampai ke Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Termasuk tentunya kota-kota di Jawa.
Manis kini juga terus mendorong edukasi bagi petani di desanya mengenai cara merawat tanaman dan produk mereka agar bisa memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Mimpinya yang lebih besar, penjualan kopi di desanya bisa menjadi modal menyukseskan pendidikan anak-anak muda di sana.