FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Ada berbagai macam kewajiban yang mesti dijalankan pasangan suami istri berdasarkan syariat Islam. Seperti suami berhak menuntut ketaatan istri, di sisi lain ia wajib memberikan nafkah kepada istri.
Sebaliknya, istri berhak menuntut nafkah dari suami namun wajib taat. Terkait dengan persoalan nafkah. Wajib bagi suami memberikan nafkah berupa materi, juga nafkah non materi yang biasa dikenal dengan istilah nafkah batin.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, dilansir dari NU Online, Kamis (11/8/2022).
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan.
Kebijakan semacam ini tercermin dalam Alquran surat al-Talaq: 7 “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, juz VII, hal. 121:
“Imam Syafi’i berkata, baik Alquran maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya.”
Ketentuan di atas berlaku untuk nafkah secara umum. Baik itu nafkah lahir maupun nafkah batin. Persoalan berikutnya ialah terkait soal durasi. Berapa lama suami boleh tidak memberikan nafkah batin bagi istrinya? Terkait hal tersebut, terjadi perbedaan pendapat ulama.
Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali satu bulan.
Pendapat ini berdasarkan pada ayat:
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Imam Ibnu Hazm berpendapat demikian karena beliau memahami bahwa biasanya siklus haidl perempuan adalah sebulan sekali, dan perintah untuk menggauli istri pada ayat diatas dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang menunjukkan kewajiban.
Lain halnya dengan ulama lain yang tidak menganggap perintah diatas sebagai sebuah kewajiban. Sebagaimana Imam Syafi’I, beliau lebih memilih berpendapat bahwa batas waktunya ialah 4 bulan.
Pendapat tersebut dibuat berdasarkan ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Pada masa itu, banyak lelaki yang pergi berperang meninggalkan istri mereka. Banyak sekali istri yang merasa sedih akan hal ini. Sesudah berdiskusi dengan Hafsoh, Umar kemudian memutuskan bahwa prajurit yang sudah bertugas selama 4 bulan di medan perang, ia harus pulang untuk memberikan nafkah kepada istrinya, atau menceraikannya. (dra/fajar)