FAJAR.CO.ID -- Terbayar sudah malam menegangkan di Pantai Bangsring. Ketegangan berakhir dengan sajian sunrise yang indah.
Bangsring semarak sepanjang hari. Suasana berangsur-angsur sepi menjelang petang saat sang surya beranjak ke peraduan. Saat kegelapan mulai mencengkram bumi, celoteh kerumunan manusia tergantikan sepenuhnya oleh desau angin dan daun-daunan. Sesekali suara serangga terdengar.
Sesi penyambutan dan pembukaan di Pantai Bangsring berakhir. Para Pejabat Kodim 0825 Banyuwangi berpamitan meninggalkan tempat. Mengikuti komandan mereka, Kapten Mustohir.
Setelah membantu mengurus penginapan, Serma Nurhadi dan Serda Kadek, sang junior yang bakal menggantikan Nurhadi menjadi Babinsa Bangsring pamit undur diri. Kami berjanji untuk bertemu kembali di Saung utama Bangsring untuk forum temu nelayan pukul 20.00 WIB.
Fiu dan Rozak belum kembali. Saya suruh mereka membawa mobil Honda BR-V ditemani satu personel Kodim untuk membeli makan malam dan belanja logistik seperlunya. Tidak perlu banyak-banyak. Yang penting cukup untuk esok hari.
“Jauh mas,” jawab Fiu ketika saya tanya kenapa lama sekali.
Memang benar kata para Staf Ter Kodim Banyuwangi. Bangsring jauh sekali dari pemukiman. Untuk beli makan pun, mereka sepertinya harus sampai ke Ketapang.
Setelah salat Magrib, saya duduk termangu di musala kecil di tengah pantai. Memandang jauh ke cakrawala yang mulai pudar di kejauhan. Sesekali pada deretan warung yang kini membiru dan membisu diselimuti gelap.
Beberapa menit yang lalu, warung-warung itu ramai dijejali manusia. Sekarang tinggal remang-remang atap di antara kegelapan senja. Tanpa celoteh manusia, desau angin terdengar lebih jelas, seperti siulan. Tapi dengan bahasa aneh.