FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Ambang batas pencalonan presiden 20 persen kini dihapuskan. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menanggapi hal itu, dosen dan peneliti bidang Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Fajlurrahman Jurdi, menilai, putusan tersebut mesti disambut bahagia.
“Ada beberapa alasan kenapa kita harus menerima dengan bahagia putusan ini,” katanya, Kamis (2/1/2024).
Menurutnya, putusan itu kini membuka peluang kepada seluruh partai mengusung calonnya di Pemilihan Presiden (Pilpres). Hal tersebut dinilainya positif.
“Pertama, peluang setiap partai untuk mengajukan pasangan calon Presiden-Wapres terbuka. Sehingga tidak ada lagi monopoli koalisi partai besar dalam pengajuan pasangan calon presiden-wapres,” ucapnya.
Ia menjelaskan, akses yang setara itu berimbas pada rakyat. Karena preferensi pilihan di Pilpres akan banyak.
“Kedua, rakyat punya banyak preferensi pilihan ketika calon presiden-wapres dapat diajukan oleh setiap partai politik. Rakyat tidak lagi disuguhkan calon hasil koalisi oligarkis, tetapi dapat muncul banyak alternatif,” jelasnya.
Ketiga, ia mengatakan pada dasarnya demokrasi menjamin kesetaraan setiap orang untuk memilih dan dipilih. Tetapi, melalui ambang batas itu, hanya kelompok oligarki tertentu yang dapat dipilih.
“Ini tidak ada kesetaraan, sebab kandidasi sudah ditentukan lebih dahulu oleh koalisi partai politik," tambahnya.
“Keempat, putusan ini menunjukkan rasio legis hakim yang mulai waras. Lebih dari sepuluh tahun hakim tidak menggunakan rasio legisnya saat mengadili pasal ini,” ungkap Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Unhas ini.
Karenanya, ia menganggap putusan tersebut perlu dirayakan. Hal itu dinilainya kemenangan rakyat.
“Kelima, kita harus merayakan kemenangan rakyat atas putusan ini, karena sesungguhnya putusan ini adalah kemenangan rakyat melawan kuasa oligarki yang sudah menggurita puluhan tahun,” ujar pria yang telah menulis puluhan buku yang membahas persoalan hukum.
Terakhir, ia melihat putusan itu menunjukkan masih ada hakim yang punya prinsip konstitusionalisme. Terutama dalam mengadili perkara.
“Keenam, kita percaya, bahwa masih ada hakim yang punya prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam mengadili perkara, meskipun dalam kasus tertentu, putusan hakim kadang tidak memihak kepada kepentingan publik,” pungkasnya. (Arya/Fajar)