WIKA Gagal Bayar Surat Utang Rp1 Triliun, Berdalih Dampak Efisiensi Anggaran Infrastruktur

  • Bagikan
Ilustrasi logo WIKA. (Dok/JawaPos.com

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) gagal bayar utang sebesar Rp1 triliun yang jatuh tempo pada 18 Februari 2025. Efisiensi anggaran infrastruktur menjadi dalih Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu tidak memiliki arus dana untuk bayar utang.

WIKA menghadapi gagal bayar atas dua surat utang yang jatuh tempo, terdiri atas Obligasi Berkelanjutan II Tahap II/2022 Seri A dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Tahap II/2022 Seri A.

WIKA menerbitkan Obligasi Berkelanjutan II Tahap II/2022 Seri A dengan jumlah pokok Rp593,95 miliar. Obligasi ini diterbitkan dengan tenor untuk 3 tahun dan bunga 6,5% per tahun.

Sementara itu, Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Tahap II/2022 Seri A diterbitkan dengan jumlah pokok Rp412,9 miliar. Efek utang ini juga memiliki tenor 3 tahun

Dengan demikian, total surat utang jatuh tempo yang gagal dibayar oleh WIKA sekitar Rp1 triliun. Di sisi lain, manajemen WIKA tidak punya kas yang cukup untuk melunasi kedua surat utang jatuh tempo itu.

Corporate Secretary PT Wijaya Karya Tbk, Mahendra Vijaya mengakui kondisi perseroan yang terkendala keterbatasan likuiditas sehingga harus menghadapi gagal bayar utang. Kondisi usaha industri konstuksi yang menantang melatarbelakangi kegagalan finansial perusahaan.

Salah satunya, kata Mahendra, kebijakan pemerintah memangkas anggaran infrastruktur tahun 2025, kata Mahendra. Alokasi anggarannya turun signifikan bila dibanding alokasi tahun 2024 lalu.

"Dinamika kebijakan dan kondisi proyek turut menyebabkan penyerapan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diterima di tahun 2024 belum dapat diserap sepenuhnya," kata Mahendra.

Kedua kondisi itulah yang mengakibatkan perseroan mengalami keterbatasan unrestrictred cash. Perseroan kemudian mengusulkan untuk melakukan pelunasan sebagian secara prorata terhadap seri A, B dan C.

Serta perpanjangan sisa pokok Obligasi dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Tahap II 2022 Seri A yang akan jatuh tempo pada 18 Februari 2025 selama 2 tahun, dengan menyertakan opsi beli pada setiap periode pembayaran kupon/imbal hasil dan tanpa mengubah besaran nilai kupon/imbal hasil.

"Usulan tersebut disampaikan dalam mekanisme RUPO dan RUPSU sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan," jelasnya.

Di sisi lain, Mahendra juga membeberkan hingga Jumat (14/2) perseroan belum mendapatkan kontrak baru di tahun 2025.

Padahal, jika ada pihaknya akan menggunakannya untuk menghasilkan arus kas masuk yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas keseluruhan nilai obligasi dan sukuk yang jatuh tempo.

Kendati demikian, perseroan juga berkomitmen akan terus berupaya memperoleh kontrak-kontrak baru untuk menghasilkan kas masuk. Ini dilakukan tak lain untuk memenuhi kewajiban dan keberlanjutan langkah penyehatan serta keberlangsungan bisnis perseroan ke depan.

Di sisi lain, di tengah dinamika kondisi bisnis yang dihadapi serta upaya untuk terus melakukan transformasi, perseroan masih memerlukan waktu dan dukungan dari para pemegang obligasi dan sukuk serta para stakeholder.

Sehingga, atas kewajiban jatuh tempo itu, pihaknya telah mengajukan usulan untuk pembayaran sebagian atas pokok dan melakukan perpanjangan sisa pokok dengan tetap membayarkan bunganya sesuai besaran dan jadwal dalam perjanjian.

“Namun atas usulan tersebut belum dapat mencapai kuorum untuk mengambil keputusan,” tutup Mahendra. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan