Andi mengingatkan, Pasal 183 KUHAP jelas berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
“Mengacu pada fakta persidangan dan Pasal 183 KUHAP tersebut, Lisa Rachmat harus dibebaskan dari segala tuntutun hukum, dan diputus bebas oleh majelis hakim pengadilan yang mengadilinya,” tandas Andi.
Tentang dakwaan permufakatan jahat, Andi menjelaskan, permufakatan jahat harus memiliki kualitas yang sama antara penyuap dan penerima suap. Penyuap memberi agar tujuannya tercapai, penerima suap menerima dengan cara menyalagunakan wewenangnya. Dalam perkara tindak pidana korupsi suap yang menyalagukan wewenangnya adalah penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil. Berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor perbuatannya tidak bisa berdiri sendiri. Harus dihubungkan dengan Pasal 5 atau Pasal 6 UU Tipikor yang berkaitan dengan unsur penyalagunaan wewenang dalam perkara suap.
Dalam perkara ini, Lisa bersepakat dengan Jarof Ricar yang bukan lagi Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri Sipil. Perbuatan Pidana yang dituduhkan kepada Lisa tersebut tidak memenuhi unsur perbuatan pidana.
“Lisa tidak dapat dinyatakan bersalah dalam tindak pidana permufakatan jahat, dan harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dijatuhi putusan bebas oleh hakim pengadilan yang mengadilinya,” ujar Andi.
Andi mengingatkan, hendaknya putusan majelis hakim terhadap Lisa tidak bertentangan dengan tujuan hukum. Yakni menciptakan ketertiban, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. “Setiap orang diperlakukan secara adil dan setara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” kata Andi.