Laut, Doa, dan Perahu: Kearifan Maritim Suku Mandar dalam Naskah Lontara’ Pallopi-lopiang

  • Bagikan

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Suku Mandar, yang mendiami wilayah pesisir Sulawesi Barat, dikenal luas sebagai komunitas bahari yang menjadikan laut sebagai pusat kehidupan sekaligus penanda identitas budaya. Bagi orang Mandar, melaut bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bentuk laku hidup yang menyatu dengan spiritualitas dan tradisi.

Dalam warisan budaya Mandar, terdapat sebuah naskah langka bernama Lontara’ Pallopi-lopiang (LPL), naskah ritual pelayaran yang ditulis dalam aksara Lontara’, Arab, dan Latin, dengan bahasa Bugis, Arab, dan Indonesia. Ditemukan pada tahun 2011 oleh Pua Hawang di Tanah Mandar, naskah ini disimpan dan dirawat oleh anak perempuannya, Hawang, sebagai bagian dari pusaka keluarga dan kearifan lokal.

Naskah LPL memuat tata cara spiritual pelayaran: mulai dari meninggalkan rumah, menurunkan perahu, berlayar (sompe’), hingga kembali dengan selamat. Dalam setiap tahap, termuat doa-doa, simbol-simbol azimat, dan tindakan ritual yang diyakini mampu menolak bahaya di tengah laut seperti angin puting beliung (laso anging), badai, maupun kecelakaan laut.

Secara historis, naskah ini diyakini ditulis pada tahun 1936, masa ketika kawasan Tinambung dilanda bencana besar yang dikenal sebagai lembong tallu — tiga gelombang besar yang oleh masyarakat Mandar dikenang sebagai tsunami yang mengubah sejarah spiritual mereka. Bencana tersebut memunculkan ketegangan teologis antar kelompok religius lokal, antara penghulu agama dan ponggawa lopi (nakhoda), mengenai siapa yang doanya paling manjur di hadapan Tuhan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan