“Perang: Sejatinya Tak Pernah Melahirkan Pemenang”

  • Bagikan
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

“Perang itu tipu daya,” sabda Nabi Muhammad SAW, tetapi ia juga mengajarkan, “Jangan membunuh anak kecil, orang tua, perempuan, dan jangan merusak tanaman.”
(HR. Muslim)

Islam, seperti juga agama-agama lainnya, bukan penggugah amarah, melainkan pelindung kehidupan. Dalam Injil, tertulis, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Dalam Hindu, ajaran Ahimsa—tanpa kekerasan—adalah jalan utama menuju kebebasan jiwa. Dalam Buddhisme, hidup adalah untuk menyucikan diri, bukan membinasakan yang lain.

Namun betapa sering agama justru ditunggangi menjadi bahan bakar perang.
Padahal ia adalah pelita.
Yang menyalakan harapan, bukan api dendam.

Di balik kemenangan politik, ada jiwa-jiwa yang tercerabut.
Di balik klaim teritori, ada sejarah air mata yang tak sempat dikisahkan.
Dan di balik layar berita, ada mayat-mayat yang tak bisa kembali disebut nama.

Siapa pemenang perang?

Apakah dia yang menancapkan bendera di tanah musuh?
Atau yang pulang tanpa keluarga, hanya dengan setangkai bunga plastik dan luka jiwa?
Atau justru mereka yang menolak menumpahkan darah?
Yang bertahan untuk menanam padi saat tanah direnggut bedil?

“Bayangkan semua orang hidup dalam damai. Anda mungkin bilang saya seorang pemimpi, tapi saya bukan satu-satunya,” tulis John Lennon dalam Imagine.
Lagu yang dibungkam oleh deru roket, tapi tetap hidup di hati manusia yang mendamba kedamaian.

Peperangan modern bukan hanya soal senjata dan bom.
Ia menyusup dalam perang informasi, perang algoritma, perang ideologi, dan perang melawan kemiskinan yang belum tuntas.
Dan dalam semua jenis perang itu, korban sejatinya selalu sama: kemanusiaan.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan