“Perang: Sejatinya Tak Pernah Melahirkan Pemenang”

  • Bagikan
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

“Dalam perang, tidak ada pemenang. Yang ada hanyalah mereka yang lebih lama bertahan di tengah kehancuran.” — Bertrand Russell

Langit tak lagi biru di tanah yang bertikai. Suara burung digantikan deru peluru. Taman-taman berubah menjadi ladang ranjau. Dan anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan mainan, kini memegang batu sebagai perlawanan terakhir.

Apa sesungguhnya hakekat perang?

Ia bukan sekadar pertempuran senjata. Perang adalah kegagalan manusia untuk berdialog, kegagalan para pemimpin dalam menahan nafsu kuasa, dan kegagalan sejarah dalam memberi pelajaran yang cukup.

Sepanjang sejarah, dunia tak pernah sepi dari perang. Perang Dunia I (1914–1918) menewaskan lebih dari 20 juta jiwa, dan Perang Dunia II (1939–1945) menyusul dengan korban lebih dari 70 juta orang, menjadikannya salah satu tragedi kemanusiaan terbesar. Hingga kini, luka-lukanya masih berdarah dalam buku-buku sejarah dan wajah-wajah yang ditinggalkan.

Di masa kini, derita perang terus diperpanjang. Konflik di Suriah telah merenggut lebih dari 500.000 jiwa sejak 2011. Invasi Rusia ke Ukraina menewaskan lebih dari 60.000 warga sipil dan tentara di kedua pihak. Belum lagi tragedi kemanusiaan di Palestina, menurut Tempo.co,  setidaknya 54.249 warga Palestina tewas dalam genosida Israel sejak Oktober 2023 di Gaza, Kematian yang telah diverifikasi sejauh ini menunjukkan bahwa hampir 70 persen adalah wanita dan anak-anak..

Apa yang tersisa dari perang selain reruntuhan dan tangisan?
Generasi yang penuh luka dan duka. 
Tatanan yang porak-poranda yang sulit diurai.
Suram dan tidak pastinya masa depan.
Dan bangsa-bangsa yang saling mencurigai dalam diam.

“Perang itu tipu daya,” sabda Nabi Muhammad SAW, tetapi ia juga mengajarkan, “Jangan membunuh anak kecil, orang tua, perempuan, dan jangan merusak tanaman.”
(HR. Muslim)

Islam, seperti juga agama-agama lainnya, bukan penggugah amarah, melainkan pelindung kehidupan. Dalam Injil, tertulis, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Dalam Hindu, ajaran Ahimsa—tanpa kekerasan—adalah jalan utama menuju kebebasan jiwa. Dalam Buddhisme, hidup adalah untuk menyucikan diri, bukan membinasakan yang lain.

Namun betapa sering agama justru ditunggangi menjadi bahan bakar perang.
Padahal ia adalah pelita.
Yang menyalakan harapan, bukan api dendam.

Di balik kemenangan politik, ada jiwa-jiwa yang tercerabut.
Di balik klaim teritori, ada sejarah air mata yang tak sempat dikisahkan.
Dan di balik layar berita, ada mayat-mayat yang tak bisa kembali disebut nama.

Siapa pemenang perang?

Apakah dia yang menancapkan bendera di tanah musuh?
Atau yang pulang tanpa keluarga, hanya dengan setangkai bunga plastik dan luka jiwa?
Atau justru mereka yang menolak menumpahkan darah?
Yang bertahan untuk menanam padi saat tanah direnggut bedil?

“Bayangkan semua orang hidup dalam damai. Anda mungkin bilang saya seorang pemimpi, tapi saya bukan satu-satunya,” tulis John Lennon dalam Imagine.
Lagu yang dibungkam oleh deru roket, tapi tetap hidup di hati manusia yang mendamba kedamaian.

Peperangan modern bukan hanya soal senjata dan bom.
Ia menyusup dalam perang informasi, perang algoritma, perang ideologi, dan perang melawan kemiskinan yang belum tuntas.
Dan dalam semua jenis perang itu, korban sejatinya selalu sama: kemanusiaan.

Kita hidup dalam dunia yang sangat terhubung, tetapi sangat tercerai.
Setiap hari, dunia membelanjakan lebih dari USD 2 triliun untuk militer, sementara lebih dari 700 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Bukankah itu perang yang lebih kejam—perang melawan nurani?

Di Indonesia, sejarah kita pun tak sunyi dari konflik. Dari masa penjajahan hingga pemberontakan bersenjata, dari perang ideologi hingga politik identitas yang membelah bangsa. Luka-luka itu masih menganga, dan hanya bisa sembuh oleh satu hal: kesadaran kolektif untuk memilih damai.

Karena damai bukan kelemahan.
Damai adalah keberanian tertinggi untuk tidak membalas.
Untuk duduk di meja perundingan meski tangan masih gemetar.
Untuk berkata: “Cukup. Biarlah anak-anak kita tidak mewarisi dendam ini.”

Perang, sejatinya, bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang mampu tetap menjadi manusia di tengah reruntuhan.
Ia tidak pernah benar-benar usai. Ia hanya berganti bentuk, berganti medan, dan berganti wajah. Tapi setiap generasi selalu punya pilihan: melanjutkan dendam atau memulai damai.

Dan mungkin, seperti kata Jalaluddin Rumi:

“Luka adalah tempat cahaya masuk.”

Semoga dari nestapa perang ini, harapan dan kesadaran menyusup ke dalam jiwa manusia. Dan dunia yang porak-poranda, perlahan pulih oleh cinta.

Tentang Penulis:
Muliadi Saleh adalah Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi dan Kebudayaan.
Menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan peradaban.

(*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan