"UGM sebagai institusi pendidikan terkemuka pun seharusnya berdiri melindungi kebebasan akademiknya," tukasnya.
Melihat dari aspek hukum pidana, Rahman mengatakan bahwa tindakan ancaman dan teror dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 dan Pasal 368 KUHP.
"Bahkan, jika terbukti dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan maka ini berpotensi masuk dalam ranah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), yang bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat)," Rahman menuturkan.
Tambahnya, jika pelaporan akademik itu terbukti keliru sekalipun, mekanisme hukum yang berlaku adalah klarifikasi melalui saluran hukum.
"Menggunakan teror untuk membungkam kritik adalah bentuk pembangkangan terhadap prinsip due process of law," tandasnya.
Rahman bilang, kebebasan akademik dan kritik terhadap pemerintah bukan bentuk pengkhianatan, tetapi justru wujud dari keberanian sipil (civil courage).
"Demokrasi akan tumbuh jika pemerintah dan institusi negara tidak alergi terhadap kritik dan justru menjadikan kritik sebagai bahan introspeksi," kuncinya.
"Kami yakin aparat penegak hukum dapat bergerak cepat dan objektif menindak siapa pun pelaku teror dan ancaman. Negara tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai ruang akademik dan sipil," sambung Rahman.
Sebelumnya, Dokter Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dokter Tifa mengungkap rentetan teror yang dialaminya pasca menyuarakan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi.
Tifa menyebut bahwa tekanan tidak hanya menimpa dirinya, tetapi juga anak-anak dan rekan-rekan dekatnya.