Tentang Cakka, Bupati yang Biasa Tidur Beralaskan Sarung

“Mau semua kah berangkat ini. Jauhka ke atas. Ini pertama kali saya ke Latimojong,” tanyaku kepada salah seorang staf kehumasan.
Namanya, Muhammad Nursaleh. Orang-orang menyapanya dengan panggilan ‘Ale’. “Dekatji, yah sekira satu setengah jamji,” jawab Ale.
Satu, dua hingga empat jam menunggu baru perjalanan bisa dimulai. Jika melihat lamanya waktu menunggu, memang membuat sebagian orang pasti berfikir bahwa cukup melelahkan menunggu selama itu. Tapi, bagi kami menganggapnya sebuah momen langka.
Karena waktu itu kami insan media belum dikejar deadline waktu terbit karena belum ada online. Boleh dikata belum "zaman now".
Canda dan tawa menjadi penawar. Kami pun tidak tega mengeluhkan karena ketertundaan itu disebabkan banyaknya warga yang datang menemui beliau. Meskipun jajaran Satpol dan ajudan sudah menginformasikan ke masyarakat yang datang bahwa Pak Bupati berencana ke Latimojong.
“Ayomi. Kita berangkat. Sudah pernah ki ke Latimojong dik,” demikian gaya bahasa Bupati Luwu, Andi Mudzakkar menyapa siapa saja. Yakni, tidak ketinggalan kata ‘dik’.
Kami pun berangkat. Perjalanan meninggalkan Belopa, berjalan lancar. Memasuki wilayah Kecamatan Bajo Barat, mulailah jalan berbatu. Sesekali rombongan juga mampir. Menghadiri panggilan sekadar ngopi dari beberapa warga. Dari tokoh masyarakat hingga masyarakat biasa.
Dari beberapa rumah warga yang disinggahi, suguhan kopi tumbuk dan baje kacang kenyal yang menjadi menu kesukaan saya bersama teman media. Kata Sudirman, suasana dan makanan tradisional seperti itu yang sulit dilupakan.