Tentang Cakka, Bupati yang Biasa Tidur Beralaskan Sarung

Juga mengingatkan akan kampung halaman, Soppeng. Yah, sahabat yang juga sudah saya anggap sebagai guru tersebut merupakan putra Soppeng yang di tugaskan Harian Tribun Makassar mengawal liputan di Luwu Raya kala itu.
Memasuki wilayah Kecamatan Latimojong, di sanalah nyali kami dan khususnya saya diuji. Betapa tidak, hujan yang mulai mengguyur membuat kami yang menumpangi mobil bak terbuka harus bisa menahan kedinginan. Becek, berlubang dan juga berbatu menjadi pelengkapnya. Terkadang terhempaskan ke kiri lalu ke kanan. Diperhadapkan dengan pemandangan jurang yang menganga. Seakan membisikan kata siap menerkam kami. Sesekali saya harus teriak ‘uwak’. Muntah karena mabuk jalan.
“Hancur saya. Goyangannya bikin tobat. Sudah terasa lama sekali perjalanan. Masih jauh kah. Kalo masih begini, tobat saya menginjakkan kaki ke Latimojong,” keluh saya kepada teman-teman.
Sepanjang jalan di Kecamatan Latimojong kala itu bagi saya memang masih terbilang menantang dan melelahkan. Jangankan kendaraan roda empat, roda dua sejenis motor trail pun harus bersusah payah menembus ganasnya medan yang kadang terjal dan menikung tajam. Salah oper gigi, bisa-bisa masuk jurang.
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekira 12 jam, kami pun tiba di ibukota Kecamatan Latimojong. Semua basah. Tidurpun harus dengan pakaian basah. Sesekali saya mencoba menghibur diri dengan memeluk senior saya, Irwan Musa. Yang membuatnya kadang berteriak. “Sama-samaki batangan dayat,” kata Irwan dengan nada kesal saat suara jangkrik kian bersahutan petanda malam semakin larut.