Jika ditarik benang merahnya dari kedua sisi opini tersebut, saya berkesimpulan bahwa polemik utama yang menjadi pusat dari ke-tidak-sinkron-an pemerintah dan masyarakat adalah kebijakan lockdown serta anjuran social distancing yang saat ini menjadi rekomendasi terbaik yang dianjurkan oleh lembaga-lembaga kesehatan global seperti WHO, CDC, hingga John Hopkins University. Lebih lanjut, kebijakan lockdown dimaknai sebagai “protokol darura negara yang melarang masyarakat untuk meninggalkan wilayah tertentu yang dimaksudkan untuk meminimalisir jumlah kasus infeksi” (World Economic Forum, 2020). Pada konteks Cina, lockdown dimaknai sebagai penguncian mobilitas masyarakat secara menyeluruh. Hal ini mencakup mobilitas antar serta dalam kota. Pada tahap tertentu, masyarakat bahkan dilarang untuk bepergian keluar rumah bahkan hanya untuk sekedar membeli bahan pokok. Sementara pada beberapa negara seperti Inggris, Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat, pemaknaan lockdown dilakukan secara bertahap dengan melakukan karantina publik dan wilayah perlahan-lahan (tidak sedrastis Cina). Sementara itu menurut John Hopkins University konsep social distancing merupakan tindakan kesehatan public yang bertujuan untuk mencegah adanya kontak langsung antara individu yang sehat dengan individu yang terinfeksi. Pada prakteknya di Indonesia, sejauh ini social distancing merupakan opsi yang dirasa lebih cocok untuk diterapkan mengingat kondisi Indonesia yang berupa negara kepulauan serta perlunya meminimalisir dampak ekonomi yang akan dihasilkan dan dialami oleh baik pemerintah hingga masyarakatnya.
Covid-19: Telaah Kesigapan & Kesiapan Negara
