Kompak Tolak RUU Kesehatan, PDGI Singgung Kriminasilasi Dokter, IBI Bilang Hapus Etika Profesi

  • Bagikan
Aksi damai penolakan RUU Kesehatan di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Senin (8/5/2023). ANTARA/Andi Firdaus

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Lima organisasi profesi (OP) kesehatan serentak menyatakan penolakan. Mereka bahkan menggelar demonstrasi sebagai bentuk protes atas RUU Kesehatan (Omnibus Law).

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Sulselbar drg Asdar Gani mengatakan banyak catatan digarisbawahi dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini.

Pertama, dari prosesnya sejak awal terkesan tertutup. RUU kelihatan disusun secara terburu-buru dan tidak melibatkan stakeholder, terutama para organisasi profesi (OP) kesehatan.

Padahal yang tahu dan menguasai dunia kesehatan, serta terlibat di dalamnya adalah mereka. Mulai IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI.

"Kelihatannya di susun terburu-buru, kenapa terburu-buru, padahal ini menyangkut kemaslahatan masyarakat. Kalau ada masalah, kan, yang dapat bukan organisasi profesi, tapi masyarakat secara umum, kalau kami dari pengurus, periode akan berganti, tapi dampaknya ke masyarakat," kata Asdar.

Menurut lelaki berkacamata ini, ada berbagai macam pasal yang krusial. Contohnya tidak dilibatkannya atau minimnya keterlibatan OP, bahkan tidak ada. Padahal justru selama ini OP yang penting dalam pelayanan kesehatan.

"Contoh spesifik seperti Surat Izin Praktik (SIP) yang hilang, padahal selama ini OP dilibatkan, maka OP akan memberikan rekomendasi selain syarat-syarat lain yang harus terpenuhi selain STR. Ini ada filosofisnya, kalau ada teman sejawat yang ada pelanggaran etika disiplin akan melakukan pembinaan terlebih dahulu, mereka yang akan mengontrol, mereka yang paling tahu, siapa lagi yang akan mengontrol kalau dalam bertugas khilaf atau lalai. Apakah akan dikover Menkes atau diskes padahal mereka juga memiliki banyak tugas-tugas," kata Asdar.

Dahulu, OP disebutkan secara eksplisit, seperti IDI, PDGI, IBI, PPNI, dan IBI, sedangkan sekarang tidak disebutkan lagi. Ini berbahaya bagi seorang nakes. Jika tidak puas dengan OP satu, maka cari OP lain. Ini akan menimbulkan kebingungan apalagi ini masalah kesehatan.

"Masalah berikutnya adalah masalah kriminalisasi profesi. Ini yang kelihatannya sangat krusial. Di UU ada yang menyatakan bahwa kalau ada pasien yang tidak puas dengan pelayanan, maka nakes bisa dituntut, padahal kami tidak bisa memberikan jaminan bahwa akan sembuh, karena ada banyak faktor, walaupun kami berupaya maksimal untuk menyembuhkan pasien," urainya.

Misalnya, dengan obat yang sama, respons pasien satu dengan yang lain bisa saja berbeda terhadap obat itu. "Mustahil kami bisa memberikan jaminan bahwa 100 persen sembuh," bebernya.

Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Sulsel Suriani mengungkapkan RUU Kesehatan tidak berpihak ke rakyat.

"Jadi kami minta RUU ini ditunda atau disetop. Selama ini kami berjuang melakukan yang terbaik untuk melayani ibu dan anak, tapi dengan adanya RUU Kesehatan seakan menghapus profesi bidan," beber Suriani.

Bagi IBI, RUU tidak mengakomodasi tugas, fungsi, dan kewenangan bidan. Dalam pasal-pasal RUU, tidak ada yang membahas pentingnya etika profesi. Secara tidak langsung, sama saja dengan penghapusan OP dan perannya juga hilang.

"Peran OP sudah tidak ada, kolegium akan dihapuskan kelihatan tidak ada hasilnya, termasuk uji serkom, diambil oleh Kemenkes. OP tidak ada lagi fungsinya. Intinya bahwa OP tidak ada lagi yang menerapkan kode etik," tekan perempuan berkacamata ini.

OP tidak ada lagi kaitannya dengan standar etika profesi karena tidak ada pasalnya, sehingga OP kehilangan jejak melalui etika profesi yang diputuskan melalui kongres. (mia/zuk/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan