Set up kondisi butuh beberapa lama. Prinsipnya, saya menyapa ‘mereka’ dulu dan menyampaikan kedatangan kami. Agar mereka tidak kepo dan menggaruk-garuk dinding kamar Rozak dan Fiu di tengah malam.
Setelah dirasa cukup, saya berjalan ke tepi pantai dan melakukan acara inti dari ‘set up’ kondisi ini. Yakni memberikan salam takdzim kepada seorang kekasih Tuhan yang menurut legenda berperan dalam mega proyek memisahkan Jawa dan Bali.
Oke, selesai. Waktunya tidur.
Dan, seperti yang saya harapkan, malam itu berlangsung khidmat dan sunyi. Kami tidur tanpa mimpi. Terbangun suara keresak-keresak sapu yang menggores pasir pantai.
Ternyata itu adalah para nelayan Bangsring yang sudah siap dengan ‘pakaian’ tempur mereka untuk mencari nafkah. Ada yang membuka warung, loket pengunjung, persewaan alat selam, persewaan penginapan, bersiap jadi guide, membuka toko peralatan renang, dan lain sebagainya.
Warga Bangsring punya kesepakatan. Bangsring adalah rumah bersama, dijaga bersama, dirawat bersama. Itulah mengapa tanpa disuruh, di pagi buta mereka sudah siap dengan sapu dan mulai membersihkan sekitar lima ratusan meter garis pantai ini.
Hari itu hari sabtu, Bangsring akan kebanjiran pengunjung.
“Enak mas tidurnya?” sapa seorang perawat Bangsring. “Alhamdulillah pak. Aman. Saya tak ke pantai dulu, mau lihat sunrise,”
“Monggo monggo,”
Saya pun mencari tempat yang cocok untuk duduk bersila menghadap ke timur. Pada cakrawala yang mulai memerah. Seperti para punggawa kerajaan yang bersiap menyambut kedatangan Bhatara Surya. (fajar/hariandisway)