Fenomena Demam Gantungan Kunci Boneka: Antara Trend dan Kesehatan Mental

  • Bagikan
Era digital telah membawa dampak positif sekaligus negatif bagi kehidupan masyarakat dengan munculnya berbagai platform media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram yang memberi informasi tanpa batas. Warganet didorong untuk senantiasa bijak menggunakan gawai dengan mengelola waktu layar dengan baik. ANTARA/Zita Meirina
Era digital telah membawa dampak positif sekaligus negatif bagi kehidupan masyarakat dengan munculnya berbagai platform media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram yang memberi informasi tanpa batas. Warganet didorong untuk senantiasa bijak menggunakan gawai dengan mengelola waktu layar dengan baik. ANTARA/Zita Meirina

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, masyarakat di kota-kota besar Indonesia tengah dihebohkan oleh demam gantungan kunci berbentuk boneka monster dengan gigi tajam yang dikenal sebagai "Labubu."

Fenomena ini dipicu oleh viralnya gantungan boneka tersebut setelah diperkenalkan oleh personel band K-pop, Lisa "Blackpink," di media sosial. Banyak orang rela antre berjam-jam, bahkan mulai subuh hingga tengah malam, untuk mendapatkan barang yang kini dianggap sebagai simbol status.

Harga gantungan boneka ini berkisar ratusan ribu rupiah, dan menjadi objek perburuan baik anak-anak maupun orang dewasa.

Tak jarang, individu merasa bangga jika memiliki lebih dari satu boneka untuk menunjukkan kelas sosial mereka.

Mereka juga mengunggah video di berbagai platform media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan Facebook, untuk meraih perhatian.

Dampak dari fenomena ini mulai dirasakan oleh orang tua, yang mengeluhkan anak-anak mereka memaksa untuk memiliki gantungan kunci tersebut agar tidak dianggap ketinggalan zaman oleh teman-teman sebayanya.

Di kalangan orang dewasa, penggunaan gantungan boneka ini lebih kepada pamer dan aktualisasi diri dalam pergaulan.

Menyikapi keadaan ini, sejumlah sekolah di Jakarta terpaksa melarang murid-murid membawa gantungan boneka tersebut ke sekolah, mengingat adanya kesenjangan sosial dan pengucilan di antara siswa. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena viral yang dianggap sepele ini dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih besar.

Menurut Ketua Umum Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia, Fajar Eri Dianto, hal ini merupakan bagian dari fenomena fear of missing out (FOMO), di mana individu merasa tertekan untuk mengikuti tren agar tidak ketinggalan. FOMO sering kali mendorong perilaku konsumtif yang tidak perlu, dan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan