Mendudukkan Kembali Urgensi Pertunjukan Angngaru di Pernikahan, Pelestarian Budaya atau Penyimpangan?

  • Bagikan
Tangkapan layar video detik-detik kejadian.

Pertunjukan angngaru dalam acara pernikahan dianggap jadi bagian dari pelestarian budaya. Benarkah demikian?

Oleh: Arya Nur Prianugraha

Dengan lantang, Fajar merapalkan syair-syair dalam bahasa daerah. Tangan kanannya memegang senjata tajam berjenis badik. Meliuk-liuk seakan mengikuti irama musik.

Seluruh mata tertuju pada laki-laki berumur 18 tahun itu. Ia mengenakan pakaian adat Bugis berwarna biru. Lengkap dengan songkok racca khas Bugis.

Sebelum mengakhiri pertunjukannya, ia meletakkan ujung badiknya ke dada sebelah kiri. Lalu tangan kirinya ia gunakan untuk menekan senjata tajam itu. Seolah memberi kesan badik tersebut benar-benar tertancap.

Sepersekian detik, Fajar kehilangan keseimbangan. Ia berusaha menyeimbangkan badan sembari memasukkan badik ke sarungnya. Tapi gagal.

Ia sempoyongan. Badik itu telah menembus dadanya.

Hari itu, Selasa 29 September 2024, di Desa Malise, Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, sekitar pukul 11.00, Fajar menghembuskan nafas terakhirnya.

Di tengah suka cita pernikahan tempat Fajar melakukan pertunjukan, kabar duka kematiannya tersiar di tempat yang sama. Ia meninggal dalam perjalanan ke fasilitas kesehatan terdekat.

Fajar meninggal setelah melakukan pertunjukan yang selama ini dianggap sebagai pelestarian budaya. Dalam budaya Makassar disebut angngaru. Dalam masyarakat Bugis disebut dengan Osong.

Namun pada praktiknya dewasa ini, masyarakat Bugis-Makassar lazim mengenalnya dengan angngaru.

“Bedanya di bahasa. Pengertiannya juga sumpah. Tapi syair beda,” kata salah seorang pekerja seni, Daeng Tika kepada fajar.co.id, Kamis (31/10/2024).

Tika menjelaskan, dalam konteks kerajaan Gowa ada tiga jenis anggaru atau aru. Aru somba, aru bate, dan aru tobarani.

“Aru somba adalah perjanjian atau sumpah antara raja yang diangkat kepada perangkat kerajaannya, kalau aru bate merupakan sumpah federasi kerajaan yang ada di kesultanan Gowa kepada kerajaan Gowa kepada sang raja. Aru tau barani merupakan aru prajurit atau bawahan, kepada raja atau pemimpin,” jelasnya.

Angngaru yang dikenal masyarakat saat ini adalah aru tau barani. “konteksnya pelestarian,” ucap Tika. Ia memberi gambaran.

“Umpama Menteri Kehutanan yang datang, Dinas Kehutanan ingin menyambut menterinya. Kan menteri ini pimpinan dari Dinas Kehutanan. Ketika Dinas Kehutanan mau menyambut pimpinannya secara adat ya seperti itu,” paparnya.

“Mewakili. Jadi posisi aru pada saat itu sumpah. Ikrar Dinas Kehutanan pada Menteri Kehutanan,” sambung Tika.

Urgensi Pertunjukan Angngaru di Acara Nikahan

Pertunjukan angngaru dalam acara pernikahan dianggap jadi bagian dari pelestarian budaya. Namun benarkah demikian? Daeng Tika tak sepakat dengan anggapan itu.

Jika melihat bagaimana sejarah aru dan subtansinya, Tika menilai tak ngonteks jika dipertunjukkan dalam acara pernikahan. Apalagi sebelum pertunjukan, ada ritual yang disebut dengan baca-baca.

“Jelek itu anunya, mantra-mantranya. Terus isi syair dari aru tobarani itu,” ucapnya. Ia menjelaskan maksud kata jeleknya. “Pertengkaran yang dia ini. Orang Makassar bilang pabeserang. Seperti itu. Ditambah lagi syair. Syair dari aru tobarani itu perang memang, perang itu teksnya.

Ketua Kampung Budaya Taeng itu memberi contoh penggalan syair dalam aru tobarani menggunakan bahasa Makassar.

Inai-Inaiannamo Sallang, Karaeng Tamappattojengi Tojenga Tamappiadaki Adaka Kusalagai Sirinna Kuisara Parallakkenna

“Nah, itu, ungkapan itu siap mati. Seperti itu. Ketika diangkat konteks pengantin, posisinya dimana kira-kira. Tidak cocok,” terangnya.

Pertunjukan aru dalam pernikahan, kata Tika sebenarnya hal baru. Mulai diperkenalkan pada awal tahun 2000-an. Begitu pula dengan aksi mempertontonkan kekebalan dari senjata tajam.

Saat itu, para pekerja seni di Sulawesi Selatan saling unjuk gigih. Mereka bersaing siapa yang paling unggul.

“Saya katakan dari dulu, tidak ada seperti itu. Berhenti,” akunya.

Dalam catatan primer seperti Lontara, ia menyebut tak ada yang menuliskan angngaru mempertontonkan kekebalan. Apalagi dalam acara pernikahan.

“Karena menurut catatan. Catatan primer. Ketika bawahan mengucapkan aru di depan pimpinan, kita bertingkah laku kurang beretika saja, langsung meki dibunuh pada saat itu. apalagi kalau sudah mempertontonkan kebolehan yang melebihi kebolehan sang raja. Sudah. Selesai di tempat,” jelasnya.

Karenanya, pertunjukan angngaru di acara pernikahan menurutnya penyimpangan. Alih-alih sebagai pelestarian budaya.

“Sudah jauh menimpang itu,” tegas Tika.

Ia memberi pesan pada pekerja seni dan budaya.

“Sebelum kita lestarikan budaya sebaiknya dilakukan: kenali, jaga, dan lalu lestarikan.”
(Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan