Ibrahim Zaman Now: Hakekat Qurban dan Haji dalam Renungan Para Sufi

  • Bagikan
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Haji: Ziarah Ruhani Menuju Diri

Jika qurban adalah pemotongan ego, maka haji adalah perjalanan menuju keabadian. Haji bukan sekadar wisata rohani, tetapi teater tauhid. Dari mengenakan ihram yang seragam, berjalan ke Ka’bah, berlari di antara Shafa dan Marwah, hingga melempar jumrah – semuanya adalah simbolisasi penyucian diri.

Para sufi menyebut haji sebagai suluk kabir – perjalanan besar. Bukan hanya ke Mekkah, tapi ke pusat ruhani manusia: keikhlasan, tawadhu, dan kehambaan. Di Mina, kita tinggalkan nafs. Di Arafah, kita menelanjangi hati di hadapan Sang Hakim. Di Muzdalifah, kita kumpulkan bekal amal. Dan di Ka’bah, kita berputar, mengelilingi cinta yang abadi.

Shariati menggambarkan haji sebagai revolusi spiritual. Ia menulis dalam Hajj: Reflections on Its Rituals, bahwa haji adalah "pembebasan manusia dari segala bentuk berhala, termasuk dirinya sendiri." Ia melihat haji sebagai penolakan terhadap materialisme, rasisme, dan sekularisme. Dengan mengenakan ihram, manusia melepaskan kasta sosial dan ego-identitas. Semua sama. Semua hamba.

Menjadikan Qurban dan Haji Sebagai Pedoman Hidup

Dalam era kapitalisme spiritual, di mana ibadah kadang hanya menjadi simbol status dan prestise sosial, umat Islam perlu kembali pada ruh ibadah. Qurban bukanlah soal harga hewan, tapi harga keikhlasan. Haji bukan soal paket VIP, tapi kesediaan menanggalkan ego dan dunia.

Menjadikan nilai-nilai Qur'an dan ibadah sebagai pedoman hidup berarti menanamkan tauhid dalam semua aspek: ekonomi yang adil, politik yang jujur, sosial yang peduli. Qurban dan haji mengajarkan pengorbanan, kesetaraan, solidaritas, dan kebebasan dari hawa nafsu. Semua itu adalah prinsip hidup Islami yang hakiki.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan