FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Polemik pembongkaran ruang kelas di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran, Bandung, menuai kritik dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, mempertanyakan kebijakan tersebut yang dinilai merugikan siswa dan orang tua.
“Yang benar saja, masa SLBN A di Bandung digusur dan akan dijadikan sekolah rakyat?” ujar Iman di X @zanatul_91 (16/5/2025).
Dikatakan Iman, rencana menjadikan area SLBN A sebagai lokasi Sekolah Rakyat justru bertentangan dengan semangat penyediaan pendidikan inklusif.
SLBN A Bandung sendiri dikenal sebagai salah satu sekolah luar biasa tertua di kawasan Asia Tenggara.
“Bukan begitu caranya membangun sekolah rakyat. Nafsu cari lahan buat sekolah rakyat tapi gusur rakyat. Gak pantes kalean urus pendidikan," cetusnya.
Saat ini, pengelolaan Sekolah Rakyat diketahui berada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos).
Iman menilai kementerian seharusnya mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa baru tanpa mengorbankan lembaga yang telah ada.
“Harusnya dibuat bangunan yang bisa mengakomodasi semuanya, baik calon peserta didik sekolah rakyat maupun SLBN,” Iman menuturkan.
Ia pun mempertanyakan kapasitas Kemensos dalam mengelola pendidikan jika pendekatan yang digunakan justru memunculkan keresahan di kalangan masyarakat.
“Kalau kek gini caranya, bagaimana caranya Kemensos bisa kita percaya mengelola pendidikan?," kuncinya.
Sebelumnya, orang tua murid Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A di kompleks Wyata Guna, Kota Bandung, mengaku cemas menyusul rencana pemerintah menjadikan area sekolah mereka sebagai lokasi Sekolah Rakyat program setara pendidikan dasar yang digagas pusat.
Kekhawatiran mencuat sejak dua bangunan sekolah, yakni Gedung C dan D, yang biasa digunakan untuk kegiatan belajar siswa difabel, dikosongkan.
Ironisnya, hal itu dilakukan bertepatan dengan pelaksanaan Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ).
“Ini anak saya kelas SMP sedang ujian, tapi pas begitu datang lihat sekolah tiba-tiba dibongkar,” ungkap Dede Yulianti (42), orang tua siswa, Jumat (16/5/2025), sebagaimana dikutip dari BandungBergerak.id.
Dede mengatakan, meski anak-anak mereka mengalami keterbatasan penglihatan, namun mereka tetap merasakan situasi yang mengganggu.
“Anak-anak memang tidak bisa melihat, tapi mereka mendengar dan kami merasakan, kami khawatir dan was-was,” tambahnya.
Ia setiap hari mengantar anaknya dari Lembang, Kabupaten Bandung Barat, demi mendapatkan pendidikan berkualitas di SLB tersebut.
SLB Negeri A Pajajaran dikenal sebagai salah satu SLB tertua di Asia Tenggara dan menjadi pilihan utama banyak orang tua dari berbagai daerah karena kualitasnya.
Tak sedikit orang tua yang rela menempuh jarak jauh agar anak mereka bisa mengenyam pendidikan di sana.
Nunik Haerani (47), warga Caringin, Kota Bandung, juga merasakan dampak positif dari pendidikan di SLB ini. Anak difabel gandanya kini lebih mandiri.
“Alhamdulillah, yang tadinya buang air di pempers, enam tahun udah lepas pempers,” tutur Nunik.
Ia menambahkan bahwa anaknya sudah mampu membaca dan mengetik, kemampuan yang diperoleh selama belajar di sekolah tersebut.
“Selama sekolah di sini, apa pembelajaran di sini nempel, terutama terkait kemandirian. Kalau harus keluar pindah kan harus adaptasi lagi dan gak gampang,” ujarnya cemas.
Sebelumnya, sekolah ini juga memiliki asrama bagi siswa dari luar kota, namun kini fasilitas itu sudah tidak tersedia.
(Muhsin/fajar)