FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perusahaan pinjaman daring (pindar/pinjol) dan multifinance agar waspada terhadap risiko gagal bayar, khususnya di tengah meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
OJK meminta seluruh pelaku industri keuangan non-bank untuk tetap menjalankan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko yang kuat.
“Perusahaan didorong untuk terus memperhatikan aspek kehati-hatian, memiliki manajemen risiko yang memadai, dan melakukan inovasi secara berkelanjutan untuk menekan meningkatnya risiko gagal bayar di tengah dinamika perekonomian domestik dan global,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman dalam Rapat Dewan Komisioner OJK di Jakarta, Senin.
Agusman menambahkan bahwa dinamika ekonomi, termasuk lonjakan PHK, perlu dicermati dampaknya terhadap industri multifinance dan fintech peer-to-peer (p2p) lending.
OJK saat ini terus memantau risiko kredit bermasalah di sektor pembiayaan. Per Maret 2025, rasio pembiayaan bermasalah (NPF gross) multifinance turun menjadi 2,71 persen.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah 90 hari (TWP90) di industri pindar tercatat stabil di angka 2,77 persen. Meski angka-angka ini terkendali, tekanan ekonomi yang tinggi tetap menjadi perhatian karena bisa memicu lonjakan permintaan pembiayaan.
Di sisi lain, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memperkirakan total penyaluran pinjaman daring (lending book) bisa mencapai Rp365,7 triliun pada 2025 — meningkat sekitar 20 persen dari tahun sebelumnya, yaitu Rp302,7 triliun.
Huda mencatat bahwa hingga akhir 2024, penyaluran pinjaman oleh fintech p2p lending masih didominasi sektor konsumtif, dengan porsi hingga 70 persen.
Padahal sektor produktif seperti UMKM masih sangat membutuhkan akses pendanaan yang luas.
Menurutnya, fintech p2p lending semestinya bisa menjadi solusi pembiayaan alternatif bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan.
“Ini bisa menjadi peluang besar untuk menyalurkan dana ke pelaku usaha terkecil dengan proses yang cepat dan persyaratan yang lebih ringan,” katanya.
Lebih lanjut, Huda menyebut sektor ekonomi akar rumput justru menjadi penyelamat saat terjadi perlambatan ekonomi dan gelombang PHK.
“Akar rumput ini bisa dibilang tough, resiliensinya tinggi. Mereka bisa menjadi savior bagi masyarakat yang terdampak PHK,” ujarnya.
Untuk memperkuat daya tahan ekonomi akar rumput, ia mendorong lahirnya regulasi yang membentuk ekosistem pendukung secara utuh, mulai dari kontribusi lembaga keuangan, akademisi, hingga sinergi antara kebijakan pusat dan daerah.
“Peran dari pemerintah daerah penting untuk menjembatani kebijakan nasional dengan karakteristik dan kebutuhan pelaku ekonomi akar rumput di wilayah masing-masing,” ucap Huda. (*/ant)