Budi Arie Dicecar Komisi VI Soal Koperasi Merah Putih: Jangan Omon-omon Soal Target 80 Ribu Koperasi

  • Bagikan
Budi Arie Setiadi.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat media sosial Monica menyoroti jalannya rapat Komisi VI DPR RI yang berlangsung panas saat anggota dewan, Darmadi Durianto, menginterogasi Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, terkait program Koperasi Merah Putih.

Dalam video berdurasi 1 menit 19 detik yang viral di media sosial, tampak Budi Arie terdiam ketika ditanya secara rinci tentang model bisnis koperasi tersebut.

Darmadi, legislator dari PDI Perjuangan, mempertanyakan keseriusan serta kejelasan konsep dari program yang dicanangkan Kementerian Koperasi.

Merespons situasi tersebut, Monica dalam akun X @NenkMonica menulis bahwa Budi Arie tidak mampu menjelaskan dengan gamblang model bisnis Koperasi Merah Putih yang sebelumnya sempat dideklarasikan sebagai salah satu program unggulan.

“Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto mencecar tajam Budi Arie, terkait dg Koperasi Merah Putih hingga terdiam,” kata Monica (28/5/2025).

Monica menambahkan, DPR tidak ingin pernyataan Budi Arie di media soal target ambisius pendirian 80.000 koperasi hanya menjadi omon-omon (omongan kosong) belaka.

“Darmadi tak ingin statement Budi Arie di media terkait target 80.000 koperasi omon-omon saja,” tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, menyampaikan potensi besar koperasi desa dalam meningkatkan perekonomian lokal.

Dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta pada Senin (27/5/2025), ia mengungkapkan bahwa setiap unit koperasi Merah Putih yang dibentuk di tingkat desa memiliki kemungkinan meraih keuntungan hingga Rp1 miliar setiap tahunnya.

Dari skema tersebut, bila target 80 ribu koperasi tercapai, total potensi keuntungan bisa mencapai Rp80 triliun per tahun.

Proyeksi ini, menurut Budi Arie, didasarkan pada upaya memangkas jalur distribusi yang selama ini dikuasai oleh para perantara atau “middleman” yang kerap merugikan produsen dan konsumen sekaligus.

Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data, termasuk dari Kementerian Pertanian, aktor-aktor seperti tengkulak dan rentenir memperoleh margin yang sangat besar dari selisih harga di desa dan kota.

"Nilai orang tengah ini terlalu besar. Jadi tidak adil buat masyarakat desa, tidak adil juga buat masyarakat kota,” tegasnya.

Sebagai contoh, ia menyoroti harga wortel yang diambil dari petani hanya Rp500, namun dijual di perkotaan dengan harga hingga Rp5.000. Ketimpangan inilah yang menurutnya dapat ditekan lewat koperasi desa.

Dengan mengoptimalkan peran koperasi dalam rantai distribusi, Budi Arie memperkirakan sekitar Rp90 triliun atau sekitar 30 persen dari potensi nilai ekonomi Rp300 triliun yang selama ini dinikmati perantara, bisa dikembalikan ke masyarakat desa.

Hal inilah yang menjadi basis kalkulasi keuntungan koperasi sebesar Rp1 miliar per unit.

Selain distribusi hasil pertanian, Budi Arie juga menyoroti ketidakefisienan dalam penyaluran subsidi. Ia mengambil contoh dari subsidi pupuk senilai Rp43 triliun.

Menurutnya, harga pupuk dari produsen hanya sekitar Rp2.300 per kg dengan tambahan ongkos distribusi Rp300–Rp400, seharusnya harga akhir menjadi Rp2.600 per kg. Namun, di pasar, pupuk bersubsidi bisa dijual hingga Rp4.800 per kg.

"Deltanya terlalu besar, dan itu sangat merugikan buat masyarakat, rakyat, atau petani yang seharusnya menikmati subsidi,” jelasnya.

Budi Arie juga menyinggung distribusi subsidi LPG yang masih belum sepenuhnya tepat sasaran, di mana masyarakat, terutama petani, justru sering membeli dengan harga non-subsidi meskipun negara telah menganggarkan dana besar untuk bantuan tersebut. (Muhsin/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan