Rich Weber

Tetangga terdekatnya amat jauh. Kira-kira setengah kilometer dari rumahnya.
Itulah prinsip hidup keluarga Amerika. Muda menyiapkan anaknya, tua tidak mau merepotkan anaknya.
Mereka tidak akan pernah mengeluh: kok anaknya tidak mau merawatnya. Pun kalau anaknya mau. Mereka tidak mau.
Mengapa ada adagium 'orang tua terbaik adalah orang Tionghoa?`.
Menurut adagium itu orang tua Tionghoa bekerja keras untuk anaknya. Berhemat untuk anaknya. Menumpuk harta untuk anaknya. Sampai lupa memikirkan diri sendiri. Di masa tuanya marah-marah. Dalam hati. Kok anaknya tidak mau membalas budi.
Bahkan sering bertengkar. Sang anak sudah merasa mengabdi. Orang tua merasa belum sebanding. Dengan pengorbanan mereka.
Sering ada lelucon. Sang anak ngotot. "Saya kan sudah mengabdi. Sudah saya carikan rumah jompo. Agar orang tua saya bisa bersosialisasi dengan sesama orang tua."
Tentu tidak semua orang Tionghoa begitu. Juga tidak semua orang Amerika begitu.
Kamis lalu saya ke Lawrence. Melewati Interstate 70. Dengan kecepatan rata-rata 120 km/jam. Selama tiga jam. Ke kota universitas: Kansas University. Tidak sama dengan Kansas State University.
Sepanjang perjalanan itu saya diskusi. Dengan John Mohn dan istrinya. Mengenai adagium tadi. Juga mengenai warisan. Yang berlaku di Amerika.
Di Amerika, orang tua memang tidak memanjakan anaknya. Namun orang tua juga tidak manja pada anaknya.
Kebiasaan orang Amerika seperti ini: ketika anak sudah berumur 10 atau 11 tahun mulailah diberi tahu. Orang tua hanya akan membiayainya sampai si anak umur 20 tahun. Yakni hanya sampai anak lulus collage. Setingkat D-2.