Sebenarnya ia berharap, pihak pengembang mau menanti sebulan atau dua bulan lagi. Sebab, seperti yang ia baca di koran, pemerintah telah menjanjikan adanya tambahan 80.000 unit subsidi semester kedua 2019 ini.
Akan tetapi, jika tetap dipaksa dengan akad skema komersial, ia memastikan diri tak sanggup dengan gaji yang hanya standar upah minimum provinsi (UMP). Jadi harapan satu-satunya selaku masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), hanya rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (subsidi).
Kasus Rola ini bisa jadi contoh kasus dari ratusan atau bahkan ribuan orang dalam golongan MBR yang kecewa dikarenakan pemerintah tak kunjung menepati janji. Sekaligus menjauhkan mereka dari harapan memiliki rumah subsidi di kawasan yang telah mereka survei.
Putar Otak
Sementara itu, para pengembang juga dipaksa harus memutar otak agar tetap bisa jualan. Salah satunya menjual hunian bersubsidi tetapi dengan skema komersial. Tak terkecuali bagi MBR.
Wakil Ketua Bidang Promosi dan Pameran Real Estate Indonesia (REI) Sulsel, Mustajab Mudji menerangkan, saat ini para pengembang terpaksa harus tetap menjual. Meski harus dengan skema komersial.
Sebab, kalau cashflow (perputaran uang) mandek dan tidak jualan, maka akan berakibat pada kredit macet. "Persoalannya user mau ndak KPR dengan skema komersial. Karena kalau skema FLPP ini sudah tidak ada," jelasnya.
Harga jual sebetulnya tetap sama dengan rumah subsidi (Rp146 juta). Hanya saja down payment (DP) alias uang muka setidaknya 20 persen dan bunganya tidak flat 5 persen hingga lunas.