"Sebetulnya kami dilematis karena itu tidak sesuai dengan yang dipasarkan ke user. Jadi memang masih banyak yang memilih sabar menunggu skema FLPP itu turun," katanya.
Direktur Utama PT Togika Graha Bakti itu menjelaskan, saat ini rata-rata pengembang menjual dengan skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Hanya saja skema ini memang kurang diminati.
Sebab, BP2BT sendiri memiliki beberapa persayaratan. Pertama, pemohon harus miliki dana 5 persen dari total harga rumah. Itu pun ditabung selama durasi waktu 6 bulan pada bank pelaksana.
Kemudian, memperoleh subsidi dari Kementerian PUPR hingga 38,8 persen harga rumah atau maksimal senilai Rp 32,4 juta.
"Kalau itu (BP2BT) memang realisasinya masih rendah. Tidak sampai 1.000 (peminatnya)," jelasnya.
FLPP Sulit
Subsidi dalam skema FLPP sulit terealisasi tahun ini. Agar MBR tetap terbantu memiliki rumah, sebaiknya menggunakan skema BP2BT itu. Skema ini sebetulnya bukan hal baru. Akhir 2017 lalu, sudah diterapkan. Dengan hadirnya program lain dengan skema FLPP, skema ini cenderung ditinggalkan.
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Bank Tabungan Negara (BTN) V Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), Edward Alimin Sjarief mengatakan, soal subsidi (sekema FLPP) ini, pihaknya masih menunggu realisasi pemerintah. Melihat di wilayahnya sendiri, telah terjual sekitar 24 ribu unit hunian bersubsidi.
Menjelang akhir tahun ini, ia pun menyarankan untuk menggunakan skema BP2BT. Sebab, secara nasional kuotanya ada 12 ribu. "Sampai hari ini BP2PT masih tersedia. Skema BP2PT salah satu skim alternatif yang bisa digunakan pengembang mengingat skim FLPP 2019 sudah terpakai semua," sarannya.