Petugas SPBU Gunung Gedangan, Kota Mojokerto, bersantai karena stok solar kosong. (Sofan Kurniawan/Jawa Pos Radar Mojokerto)
Mengenai alasan lebih rendahnya kuota tahun ini daripada tahun lalu, Kyatmaja yang sebelumnya berdiskusi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa anggaran 2019 tidak mencukupi. Karena itu, kuota solar bersubsidi diturunkan dari 15,6 juta kiloliter tahun lalu menjadi 14,5 juta kiloliter tahun ini.
”Angka tersebut sedari awal sudah disinyalir kurang. Kami mengkhawatirkan November dan Desember tersendat. Ternyata, benar-benar terjadi di lapangan,” ungkapnya.
Di samping masalah kuota tersebut, Kyat menyoroti kontrol distribusi dan konsumsi solar bersubsidi di lapangan. Pada kesempatan sebelumnya, Pertamina sempat menyinggung solar bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Dia berpendapat, memang ada berbagai kejanggalan di sejumlah titik kelangkaan solar.
”Pertamina pernah membeberkan bahwa ada dua daerah yang konsumsi solar subsidinya lebih tinggi daripada Pulau Jawa. Yaitu, Riau dan Kaltim. Ini kan aneh,” katanya.
Sebab, jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Riau dan Kaltim. Selain itu, dua daerah tersebut didominasi sektor CPO (crude palm oil) dan pertambangan yang armada truknya tidak boleh menggunakan solar bersubsidi.
Secara regulasi, memang ada kendaraan-kendaraan yang dibatasi untuk menggunakan solar bersubsidi. Antara lain, kendaraan pengangkut hasil perkebunan (perkebunan besar), kehutanan, dan pertambangan dengan roda lebih dari enam, baik dalam kondisi bermuatan maupun kosong. Selanjutnya, larangan penggunaan solar bersubsidi juga diberlakukan pada mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truk trailer, serta truk molen (pengangkut semen).