Mimpi Sejuta

  • Bagikan

'Keruwetan' itulah yang selama itu membuat birokrasi di BP-Migas (kini SKK Migas) menjadi obesitas --dengan segala penyakit ikutannya.

BP-Migas pernah menjadi mirip kerajaan di dalam negara.

Saya pernah ke kantor Kepala BP Migas. Waktu saya masih menjadi sesuatu dulu. Saya kaget-habis: mewahnya tak terpermanai.

Ruang kepala itu satu lantai penuh. Dengan perabotan yang sangat tidak pantasnya --sebagai kantor instansi pemerintah.

Saya benar-benar speechless.

Saya mencoba memahami jalan pikirannya. Misalnya "memancing ikan besar jangan pakai cacing kecil". Atau "kalau yang diumpankan kacang dapatnya hanya monyet". Lalu ingat juga pepatah Surabaya "jer basuki mowo beo".

Tetap saja saya tidak paham.

Kritik keras yang lain terhadap sistem ruwet cost recovery adalah: besarnya uang yang dikeluarkan pemerintah. Yang dipotongkan dari bagi hasil minyak.

Itu karena biaya apa pun yang terkait dengan pengeboran harus diganti. Termasuk biaya pulang untuk libur akhir pekan --yang pulangnya itu ke luar negeri.

Dengan sistem gross split semua keruwetan itu hilang. Pokoknya, wahai investor, silakan gali sumur migas. Tanggung sendiri semua biayanya. Kalau berhasil kalian akan mendapat bagian --lebih banyak dari pada sistem recovery.

Kalau gagal ya itulah resiko bisnis. Tanggung sendiri.

Di sistem cost recovery, semua biaya itu tetap ditanggung investor. Tapi sifatnya talangan. Kelak semua biaya itu ditagihkan ke pemerintah ---ke BP-Migas.

Setelah itu hasil migasnya dibagi --investor mendapat bagian lebih kecil dibanding sistem gross split.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan