FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Sejak ribuan tahun lalu manusia telah mengenal aksara sebagai alat komunikasi.
Aksara adalah sebuah sistem penulisan suatu bahasa dengan menggunakan simbol-simbol atau bisa juga sesuatu yang tertoreh pada satu media, memiliki fungsi untuk mengungkapkan unsur-unsur mengekspresikan bahasa.
Aksara yang disebut-sebut tertua di dunia adalah aksara Paku. Aksara ini pertama kali ditemukan sekitar 3.000 tahun lalu di lembah Sungai Efrat dan Tigris yang sekarang ini Irak.
Aksara paku adalah salah satu jenis tulisan kuno berbentuk paku yang dituliskan di atas lempengan tanah liat.
Indonesia sendiri terdapat 12 aksara daerah yang merupakan bagian dari kekayaan kesusastraan dan budaya Indonesia.
Ke-12 aksara lokal tersebut adalah aksara Bali, Jawa, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Di Sulawesi Selatan sendiri ada, Aksara Lontara, juga dikenal sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru adalah salah satu aksara tradisional Indonesia.
Aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Bugis dan Makassar, tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti Bima di Sumbawa Timur serta Ende di Flores.
Namun penggunaan aksara ini tak lagi begitu terpakai dengan maraknya budaya modern, perlahan penggunaan aksara lontara digantikan alphabet yang menjadi aksara bahasa Indonesia.
Akan tetapi daya tarik untuk mempelajari bahkan melestarikan aksara lontara itu sendiri tidak hilang begitu saja.
Masih banyaknya masyarakat yang ingin mendalami aksara-aksara yang ada di Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa mempelajari aksara-aksara tersebut khususnya aksara lontara itu sendiri masih memiliki daya tarik yang sangat kuat.
Sama halnya yang di lakukan oleh Aipda Andi Sofyan Hadi. Pria kelahiran Bajeng, Gowa Sulawesi Selatan ini begitu tertarik mengenai aksara lontara.
Dia telah menghabiskan waktunya selama 16 tahun sejak tahun 2006 untuk menyalin dan menerjemahkan catatan harian lontara.
Tidak hanya itu Andi Sofyan Hadi juga telah menerbitkan beberapa buku yang berjudul "Catatan Harian Raja Bone XV" pada bulan April 2021 dan "Catatan Harian La Patau Matanna Tikka" di bulan April 2022.
Pria yang akrab disapa Puang Feand ini berprofesi sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia dan bertugas sebagai kanit pembantu direktorat reserse narkoba Polda Sul-Sel ini juga telah menerjemahkan beberapa aksara lontara dari Museum Leiden belanda.
"Berbicara soal awal mula ketertarikan saya untuk mendalami aksara lontara di mulai sejak kecil yang telah terbiasa dengan lingkungan yang mayoritas menggunakan aksara lontara, dimulai dari kebiasaan surat menyurat yang masih menggunakan aksara lontara hingga akhir tahun di era 80 an," ujar Andi Sofyan.
Jika di lihat dari silsilah keluarganya, Puang Feand memiliki 38 orang bersepupu sekali dari 14 orang tua bapak bersaudara.
Akan tetapi menurut salah seorang paman yang menguasai naskah aksara lontara sebelum wafat, ia dipercayakan untuk menjaga naskah aksara lontara tersebut.
Ketertarikannya terhadap aksara lontara sudah menonjol sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Berbekal sering didongengkan dan ketidak fasihan beliau dalam berbahasa Bugis dikarenakan ia lahir dan besar di Gowa sehingga membuat rasa ingin tahunya tentang aksara lontara itu lebih besar ketimbang saudara sepupu yang lainnya.
Salah satu bentuk kecintaannya dengan aksara lontara telah ia tuangkan dalam berbagai kajian dan buku tentang sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan dan masih ada beberapa naskah karyanya yang masih dalam tahap proyeksi.
Dia kini tengah menggodok buku rangkuman dari semua catatan sejarah kerajaan Bone.
"Bone Annalsnya masih dalam proses pencarian dan pengumpulan naskah Lontara' berhubung masih ada naskah catatan harian tahun 1800an yang berada di Leiden Belanda belum teralih aksarakan," terang Andi Sofyan. (selfi/fajar)