"TSM ini dulu berlaku, tetapi sekarang tidak lagi berlaku. Jadi yang digugat di MK hanya sekarang ini hanya angka-angka saja," ujarnya.
Ray Rangkuti menilai jalur hukum melalui MK akan sulit mendapatkan keadilan jika hanya berpatokan pada hitungan angka-angka saja. Atas pertimbangan ini, sehingga dia menilai lebih tepat melalui jalur politik dengan penggunaan Hak Angket oleh DPR untuk melakukan penyelidikan pelaksanaan Pemilu.
Penyelesaian sengketa pemilu di MK yang hanya mengedepankan perolehan angka-angka juga pernah disoroti pemerhati hukum tata negara Feri Amsari pada 2021 lalu. Akademisi Universitas Andalas itu menganggap MK telah menjadi mahkamah kalkulator yang hanya mengacu Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Masih mengutamakan pendekatan hitung-hitungan bukan membaca dan memahami secara subtansi apakah telah terjadi pelanggaran pelanggaran pemilu yang membuat jarak selisih sangat jauh," ujar Feri Amsari dilansir dari JPNN.COM pada artikel yang ditayangkan Kamis (18/2/2021).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu menambahkan, dampak dari penggunaan ketentuan itu ialah mendorong peserta pemilu melakukan kecurangan secara sistematis dan masif demi memperoleh selisih suara besar.
"Bukan tidak mungkin pelaku kecurangan dalam pilkada akan melakukan kecurangan yang sungguh masif dan terstruktur agar jaraknya jauh. Dengan demikian MK akan memutuskan bahwa perkara itu tidak akan lanjut," tutur Feri. (*)