FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Ramadhan, bulan puasa ibarat madrasah ruhaniah guna mendidik kualitas jiwa agar memiliki kepekaan akan jati diri seorang manusia yang sama-sama lemah, rendah dan setara ketika kelaparan.
Puasa berbeda dengan ibadah lain yang dituntut untuk bergerak. Di ibadah puasa manusia dididik untuk diam dan pasif. Karena dalam diam dan senyaplah kita bisa menghampiri Tuhan.
Di bulan yang penuh kemuliaan dimana segala amal ibadah dilipatgandakan pahalanya dan pintu ampunan dibuka seluas-luasnya, baiknya diisi dengan ibadah yang berkualitas dan memohon ampun dengan penuh kerendahan.
Hal tersebut disampaikan Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, dalam sebuah kajiannya dikutip pada Kamis (14/3/2024).
Menurutnya, Tuhan tidak bisa dihampiri dengan keramaian laksana pasar. Tuhan menghampiri kita dalam hening dan sunyi.
"Puasa itu ibadah yang pasif, diam dan sunyi. Tidak bisa pamer 'paling puasa'. Tidak bisa panjang-panjangan seperti saat salat atau bagus-bagusan seperti saat baca ayat, atau banyak-banyakan seperti saat bayar zakat. Hakikat puasa antara kita dan Tuhan semata. Itu sebabnya 'Puasa itu untuk-Ku'," tutur Gus Nadir, sapaan akrabnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, dalam puasa dan keheningan itu semua terlihat setara. Yang menilai kualitas puasa benar-benar Allah semata.
Maka, jadikanlah puasa sebagai cara untuk merasa sama dengan yang lain, bukan merasa lebih baik dari yang lain.
"Ibadah adalah tanda bakti, syukur, dan cinta kita kepada Allah. Karena itu ibadah adalah hubungan paling intim dengan Tuhan. Semakin erat dan mesra hubungan intim kita dengan Tuhan maka semakin sunyi jalan ruhani yang kita tempuh," terang dia.