FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Sengketa Pilpres 2024 belum selesai. Putusan MK pun dinanti.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menganulir hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Itu jika unsur dugaan kecurangan yang terhadi secara terstruktur sistematis dan masif (TSM) terpenuhi.
Salah satunya, dugaan keterlibatan Penjabat (Pj) kepala daerah untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Menurut Djohermansyah yang juga menjadi Saksi Ahli pada persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di MK menegaskan, kemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 yang dicapai melalui kecurangan terstruktur dan sistematis terlihat jelas, sehingga dapat dianulir MK.
"Unsur kecurangan terstruktur dan sistematis itu, antara lain penunjukan Pj gubernur, wali kota, dan bupati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, rangkaian rapat koordinasi yang dilakukan dengan kepala desa hingga Babinsa," kata Djohermansyah dalam acara 'Speak Up' di YouTube Channel Abraham Samad, dikutip Selasa (16/4/2024).
Penggunaan aparatur sipil negara (ASN) sebagai Pj kepala daerah membuat presiden dapat mengarahkan atau mengendalikan dukungan yang harus diberikan kepada paslon yang berkontestasi di Pilpres 2024.
"Apalagi Presiden Jokowi secara terang-terangan menunjukkan dukungan kepada paslon nomor urut 2. Hal itu antara lain dengan melakukan makan bersama Prabowo di masa kampanye, dan hasil perolehan suara Pilpres 2024 rata-rata di atas 50 persen di daerah-daerah yang kepala daerahnya merupakan Pj yang ditunjuk presiden," ujar Djohermansyah.
Sebanyak 271 Pj kepala daerah atau hampir 90 persen jumlah penduduk Indonesia di bawah kepemimpinan para Pj kepala daerah gubernur, bupati, dan wali kota.
"Kalau Pj ini nyata sekali bahwa ucapan, perbuatan, tindakan Presiden Joko Widodo untuk bisa mengontrol Pj. Jadi ada teori saya: mendongkrak suara dalam Pilpres. Paslon 02 kan lama sekali suaranya sekitar 30-40 persen (selama kampanye Pilpres-Red), tidak sampai 50 persen. Harus ada cara mendongkrak, men-trigger-nya suara itu bisa meloncat tinggi," paparnya.
Dengan keterlibatan presiden tersebut, lanjut Djohermansyah, dalam membantu Paslon 02, maka bisa dibilang pemilu 2024 fraud. Karena itu, seperti wasit di pertandingan bola, MK bisa menganulir dengan menganulir golnya, dan memberikan kartu kuning bahkan kartu merah kepada paslon yang meraih kemenangan dari kecurangan.
"Dengan menganulir hasil kemenangan paslon nomor urut 2, maka harus dilakukan pilpres ulang. Paslon 2 bisa tetap ikut jika hanya mendapatkan kartu kuning dari MK. Tetapi jika mendapat kartu merah, maka Prabowo-Gibran tak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024," paparnya.
Kartu kuning dan kartu merah yang diberikan MK bukan hanya kepada paslon, tetapi juga kepada pihak-pihak yang ikut terlibat, seperti presiden dan para menteri yang mendukung paslon.
Mantan Dirjen Otonomi Daerah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mengungkapkan, sangat mungkin untuk melakukan pilpres ulang, meskipun ada jadwal Pilkada serentak, pada 27 November 2024.
Jika MK membuat putusan PHPU yang sesuai jadwal berakhir pada 26 April 2024, maka Pilpres ulang dapat dijadwalkan pada Juli 2024, tanpa mekanisme kampanye. Jika tidak ada paslon yang mencapai 51 persen suara maka Pilpres tahan II dapat dilakukan di September 2024 bersamaan dengan Pilkada.
“Jangan bilang waktu sudah mepet. Itu enggak benar, sebab kita sudah punya pengalaman menyelenggarakan pemilu dengan tahapan yang pendek sejak 2004-2009,” tutur Djohermansyah.
Terpisah, Wakil ketua tim hukum Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan meyakini MK bakal menolak gugatan yang diajukan kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Ia menilai, gugatan kedua pasangan calon itu sudah salah secara prosedural atau hukum acara di MK.
"Sebenarnya kalau kecurangan ini ranahnya Bawaslu. Bawaslu yang harus memeriksa perkara kalau ada kecurangan, walaupun di MK kami juga uji di persidangan ternyata kecurangan itu tidak terbukti, jadi dari segi prosedural sebenarnya ini sudah salah," kata Otto, kemarin. (jpg/zuk)