Pakar Tegaskan DPR Tidak Bisa Membatalkan Putusan MK, Mahasiswa Siapkan Unjuk Rasa

  • Bagikan
Ilustrasi unjuk rasa. (Royyan/JawaPos.com)

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Menyusul isu panas terkait pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang diinisiasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) menyatakan akan melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk penolakan.

Fajar Wasis, selaku Jenderal Lapangan GAM, menyampaikan bahwa aksi tersebut merupakan respons terhadap upaya DPR untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70 Tahun 2024 terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia calon kepala daerah.

"Dalam rangka menanggapi dan menindaklanjuti hal tersebut, kami dari GAM akan melakukan aksi unjuk rasa," kata Fajar dalam keterangannya tertulisnya yang diterima pada Rabu (21/8/2024) malam.

Dijelaskan Fajar, pihaknya akan menggelar unjuk rasa pada Kamis (22/8/2024) besok di Pertigaan Jalan Letjen Hertasning-AP Pettarani, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar.

Sebelumnya, Pengamat Hukum dan Politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Amir Ilyas menyebut, DPR tidak bisa begitu saja membatalkan putusan MK melalui revisi UU Pilkada.

Dijelaskan Prof. Amir, dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU No. 10/2016, telah jelas batas terendah untuk calon Gubernur yaitu 30 tahun.

"Yang jadi perdebatan sekarang, MA kemarin sudah memutus syarat calon berkenaan dengan umur yang menguji Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9," ujar Prof. Amir kepada fajar.co.id, Rabu (21/8/2024).

Pasal tersebut berisi tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota (Putusan Nomor 23 P/HUM/2024).

"Memaknai kalau batas umur 30 tahun itu berlaku sejak calon gubernurnya dilantik, bukan sejak ditetapkan sebagai Paslon," lanjutnya.

Lebih lanjut, kata Prof. Amir, saat ini dengan berdasarkan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.

"Artinya apa, MK memaknai untuk batas usia yang 30 tahun itu sudah harus terpenuhi sejak ditetapkan sebagai Paslon," sebutnya.

Ia kemudian menawarkan pertanyaannya terkait putusan yang berlaku. Putusan MA atau Putusan MK.

"Kalau dalam hemat saya, karena yang diuji materilkan MA adalah PKPU, sedangkan MK yang diuji materilkan adalah UU, UU lebih tinggi tingkatannya daripada PKPU," jelasnya.

Dengan begitu, kata Prof. Amir, putusan MK yang menegaskan persyaratan calon terkait dengan umur 30 tahun yang dihitung sejak penetapan Pasangan Calon yang berlaku.

"Nah sekarang, muncul masalah baru lagi, bagaimana jika DPR yang mengubah UU Pilkada (revisi terbatas), berbeda dengan pemaknaan yang dalam putusan MK, misalnya DPR mengubahnya dengan waktu menghitung batas umur tersebut, sejak si calonnya nanti dilantik. Apakah putusan MK itu dapat dinyatakan batal atas revisi terbatas UU?," Prof. Amir menuturkan.

Menurutnya, DPR tidak bisa membatalkan putusan MK dengan cara merevisi UU. Prof. Amir pun bukan tanpa alasan dan memberikan argumentasi hukumnya.

"Putusan MK itu memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47 UU MK)," tukasnya.

Tambahnya, putusan MK wajib dimuat dalam berita negara, sehingga putusan merupakan bagian dari ketentuan atau pasal yang sudah diuji materilkan.

"Justru DPR dalam membentuk UU, termasuk melakukan perubahan atau revisi terbatas, materi muatan yang harus diatur salah satunya harus berisi tindak lanjut atas putusan MK (Pasal 10 ayat 1 huruf d UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)," terangnya.

"Apa masih ada jalan lain, materi muatan yang diatur dalam revisi terbatas UU misalnya berbeda dengan apa yang terdapat dalam putusan MK?," tambahnya.

Prof. Amir mengatakan, jalan lain itu masih ada. Dengan catatan DPR bersama Pemerintah menganggap ketentuan yang dimunculkan itu karena pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

"Namun kasus yang sekarang, usia calon diutak-atik batas waktu menghitungnya, mau dikembalikan usia 30 tahun dihitung sejak calon dilantik sebagai Gubernur," imbuhnya.

Termasuk, lanjut Prof. Amir, dalam hal ini syarat presentase pengusungan calon melalui Parpol, 6,5 persen sampai dengan 10 persen berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) berdasarkan suara sah dari pemilu DPRD terakhir.

"Baik yang mendapatkan kursi di DPRD maupun yang tidak mendapat kursi (Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024), kemudian oleh DPR syarat itu dimaknai dengan menambahkan satu ketentuan di Pasal 40 UU Pemilihan, syarat dimaksud hanya berlaku untuk parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD," tandasnya.

Prof Amir bilang, apa yang menjadi polemik belakangan ini bukan lagi terkait perubahan UU dengan alasan karena pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

"Tapi ini sudah berada dalam pemenuhan kepentingan untuk golongan atau kelompok tertentu saja. Saya kira publik bisa melihat apa yang terjadi saat ini," kuncinya. (Muhsin/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan