Mendudukkan Kembali Urgensi Pertunjukan Angngaru di Pernikahan, Pelestarian Budaya atau Penyimpangan?

  • Bagikan
Tangkapan layar video detik-detik kejadian.

Tika menjelaskan, dalam konteks kerajaan Gowa ada tiga jenis anggaru atau aru. Aru somba, aru bate, dan aru tobarani.

“Aru somba adalah perjanjian atau sumpah antara raja yang diangkat kepada perangkat kerajaannya, kalau aru bate merupakan sumpah federasi kerajaan yang ada di kesultanan Gowa kepada kerajaan Gowa kepada sang raja. Aru tau barani merupakan aru prajurit atau bawahan, kepada raja atau pemimpin,” jelasnya.

Angngaru yang dikenal masyarakat saat ini adalah aru tau barani. “konteksnya pelestarian,” ucap Tika. Ia memberi gambaran.

“Umpama Menteri Kehutanan yang datang, Dinas Kehutanan ingin menyambut menterinya. Kan menteri ini pimpinan dari Dinas Kehutanan. Ketika Dinas Kehutanan mau menyambut pimpinannya secara adat ya seperti itu,” paparnya.

“Mewakili. Jadi posisi aru pada saat itu sumpah. Ikrar Dinas Kehutanan pada Menteri Kehutanan,” sambung Tika.

Urgensi Pertunjukan Angngaru di Acara Nikahan

Pertunjukan angngaru dalam acara pernikahan dianggap jadi bagian dari pelestarian budaya. Namun benarkah demikian? Daeng Tika tak sepakat dengan anggapan itu.

Jika melihat bagaimana sejarah aru dan subtansinya, Tika menilai tak ngonteks jika dipertunjukkan dalam acara pernikahan. Apalagi sebelum pertunjukan, ada ritual yang disebut dengan baca-baca.

“Jelek itu anunya, mantra-mantranya. Terus isi syair dari aru tobarani itu,” ucapnya. Ia menjelaskan maksud kata jeleknya. “Pertengkaran yang dia ini. Orang Makassar bilang pabeserang. Seperti itu. Ditambah lagi syair. Syair dari aru tobarani itu perang memang, perang itu teksnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan