Wacana pencopotan hakim oleh DPR sendiri terus menuai polemik di kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Banyak pihak yang khawatir bahwa langkah ini akan semakin memperlemah independensi lembaga yudikatif dan memperbesar intervensi politik dalam sistem peradilan di Indonesia.
Untuk diketahui, DPR kini memiliki kewenangan untuk meninjau kinerja pejabat negara yang sebelumnya telah menjalani fit and proper test di parlemen.
Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang kurang memuaskan, DPR dapat memberikan rekomendasi untuk pemberhentian.
Ketentuan ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang telah disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (4/2/2025).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa revisi ini memberi DPR hak untuk mengkaji ulang pejabat yang telah disetujui melalui rapat paripurna.
"Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR," kata Bob di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025).
Ia menambahkan bahwa jika hasil evaluasi menunjukkan pejabat tersebut tidak bekerja sesuai harapan, DPR berhak merekomendasikan pemberhentiannya.
"Itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang," ujarnya.
Dengan adanya aturan ini, DPR dapat secara berkala mengevaluasi pejabat negara yang mereka pilih, termasuk Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), serta Mahkamah Agung (MA).