FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pemufakatan jahat dilakukan petinggi PT Pertamina Patra Niaga. Tujuh orang ditetapkan tersangka impor BBM berkadar oktan atau RON 90 kemudian dijual ke masyarakat seharga BBM RON 92 atau Pertamax.
Rakyat telah ditipu dengan menjual Pertamax tetapi hasil oplosan Pertalite dari depo BBM. Manipulasi BBM impor ini telah merugikan negara mencapai Rp193,7 triliun.
Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi di Pertamina itu dengan modus impor BBM berkadar oktan atau RON 90 kemudian dijual ke masyarakat seharga BBM RON 92.
Direktur Utama (dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan telah ditetapkan tersangka bersama enam orang lainnya oleh Kejaksaan Agung.
Tersangka lainnya adalah Sani Dinar Saifuddin (SDS) sebagai direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International dan Yoki Firnandi (YF) selaku dirut PT Pertamina Shipping.
Adapula Agus Purwono (AP) yang dijerat atas perannya selaku vice president Feedstock Management PT Kilang Pertamina International dan dari pihak swasta, yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku pemilik manfaat (benefit official) dari PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) tersangka selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus komisaris PT Jenggala Maritim.
Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) yang ditetapkan tersangka atas perannya sebagai komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus dirut PT Orbit Terminal Merak. Adapun MKAR adalah putra dari raja minyak Mohammad Riza Chalid.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengungkap kasus ini terjadi periode 2018-2023. Qohar mengungkapkan, pada periode itu, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib memprioritaskan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
Kewajiban Pertamina mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum memutuskan impor.
Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri telah mengatur kebijakan tersebut.
Namun kenyataannya, Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan bersama Sani Dinar Saifuddin (SDS), dan Agus Purwono (AP) melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH). Mereka bermufakat untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
Dengan manipulasi tersebut, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang akhirnya diperoleh dari impor.
Sementara produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ditolak setelah produksi kilang diturunkan.
Ada banyak alasan yang dibuat untuk menolak produksi minyak mentah oleh kontraktor.
Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS).
Kedua, spesifikasi dianggap tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.
Nah, setelah menolak produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS dengan berbagai alasan, Pertamina lalu mengimpor minyak mentah.
"Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi," kata Qohar.
Dugaan pemufakatan jahat yang terjadi dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ.
Qohar mengungkapkan, sebelum membuka proses tender, sudah ada kesepakatan harga yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
Rencana pemufakatan jahat dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan.
Pengoplosan Pertalite Menjadi Pertamax
BBM yang dijual di pasaran oleh Pertamina antara lain BBM RON 90 bernama Pertalite dan RON 92 dengan nama Pertamax.
BBM yang diimpor jenis RON 90 diduga telah dioplos menjadi RON 92. Tersangka RS diduga menyelewengkan pembelian dengan memanipulasi pembelian seolah-olah jenis Roin 92 (Pertamax), padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite).
"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan," jelas Qohar.
Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang.
Negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Qohar menyebut imbas perbuatan ketujuh tersangka itu harga BBM yang dijual kepada masyarakat menjadi mahal.
"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," ujar dia.
Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp193,7 triliun. (*)