Amboi, diksi “gelap” itu, rupanya bukanlah antonim “terang”. Tak ada cahaya, sebersit sinar penerang. Gelap dimaksud, “gloomy”. Suram, KBBI di bidang kehidupan, menyebut suatu kondisi tak tentu arah, nasibnya di masa depan.
Itu dalihnya, tapi saya masih sangsi. Toh, di buku otobiografi; "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" (1965) ditulis Cindy Adams. Bung Karno bertutur; “Bangsa Indonesia di abad ke-19, merupakan zaman gelap. Sedangkan zaman sekarang, zaman terang-benderang, menaiknya pasang revolusi kemanusiaan”.
Nah loh, cobalah tutur Bung Karno itu, lamat dieja. Meski telah wafat 55 tahun lalu, tapi seolah ia tahu, kelak sekelompok anak bangsa, mengklaim “Indonesia Gelap”.
Gelap, suram Indonesia di mana? ”Cermatilah pidato Prabowo saat milad partainya, sekian hari lalu”, tegas teman saya. “Ndasmu…!”, ia meniru ujaran Prabowo kala berpidato. “Hidup Jokowi!”. Seru Prabowo di hadapan Jokowi itu, riuh disambut gegap gempita ratusan kader parpol didirikan dan dipimpinnya.
Konon, seruan itulah yang memicu unjuk rasa seantero negeri. Ditafsir cara kritis, “Indonesia Gelap”. Bersimpang seruan masyarakat sipil, “Tangkap Jokowi”. Jika sebelumnya, Prabowo di banyak pidatonya, bertekad memburu koruptor hingga ujung langit misalnya, melegakan masyarakat sipil. Namun, narasi pidatonya kali ini, dicap gelap..
Hmm, rupanya Prabowo semula diharap sosok Ratu Adil. Pembawa obor penerang kegelapan. Anti-tesis Jokowi, dinilai menyisih banyak prahara kegelapan. Tapi ironisnya, Prabowo di masa 100 hari kepemimpinannya, ditakar tak lebih kurang, sama saja Jokowi.