Indonesia Gelap

  • Bagikan
Armin Mustamin Toputiri

“Tangkap Jokowi..!” Loh, mau apa lagi dengan Jokowi, toh sudah lengser. Saatnya, mari membangun negeri bersama Prabowo. “Tapi dari narasi pidatonya, Prabowo tak membawa obor”, tepis teman itu. “Suluh semula dinyalakan, berbalik dipadam. Ndasmu!”.

Jokowi, juga Prabowo, pilihan rakyat. Kini, presidensial murni. Presiden punya power full. Tak lagi ada MPR, bisa menyulam aspirasi rakyat, melengser seorang presiden.

“Haruskah, kita menunggu lima tahun lagi?” Tak usah dijawab, pasca amandemen, narasi konstitusi negeri kita sudah begitu. “Jika presiden kita lalim?” Jawabannya sama. Jangankan presiden, melengser Gubernur atau Bupati, aturannya sama. Tak mudah.

“Kok begitu?” Ya, sudah begitu! Makanya, jangan sembarang pilih. Itulah konsokuensi pemilihan langsung, suara terbanyak oleh rakyat. Seperti dikata mantan presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln. “From the people, by the people, to the pepole”.


Demokrasi, sistem bernegara paling ideal. Tapi demokrasi menganut “voting”, suara terbanyak, itulah praktek politik paling disesali Plato. “Salah memilih, tak usah disesali”.

Dan para pendiri bangsa ini, jangan dikira tak makhfum, khatam kesemua mazhab dianut sejak Yunani kuno itu. Sebabnya, perumusan -- negara “Kesatuan”, negara “Republik” – dalam UUD 45, meski mereka sepakat demokrasi, tapi bukan seperti khittahnya. Liberal, seperti diejawantah di daratan Eropa.

Kata Bung Karno, demokrasi kita bukan demokrasi liberal. Demokrasi kita, Bhinneka Tunggal Ika. Demokrasi Pancasila. Azasnya, “gotong royong”. Sistemnya, “permusyawaran perwakilan”. Prakteknya, “musyawarah mufakat”.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan