Ironisnya, saat memberlakukan "Demokrasi Terpimpin", Soekarno justru khianat argumennya. Itulah yang ditentang Bung Hatta – pasca mundur jadi Wapres – di bukunya, “Demokrasi Kita” (1960).
“Wah”, teman baik saya melongo. Pendiri bangsa tau, demokrasi liberal berisiko mengoyak BhinnekaTunggal Ika. Pemilih -- suka tak suka -- akan memilih sesama suku, sesama daerah, sesama agama, sesama golongan, sesama aliran, sesama-samanya.
“Ya, yaaa….” teman baik saya terangguk-angguk. Tapi mungkin tak terpikirkan kelak oleh pendiri bangsa. Pemilih, memilih karena diberi bansos. Diberi sembako, diberi uang. Satu lagi, simpati calon pemimimpinya, pura-pura miskin, bahkan nyemplung masuk got.
“Musababnya?” Tanya teman baik itu penasaran. Moyang kita, ajaran agama kita, sejak kuda gigit batu, membaptis kita. “Orang baik, dipastikan memimpin secara baik”. Tak salah, hanya kita saja yang bego. Tak tau membeda, mana orang baik, mana pura-pura baik.
Kita, jamaknya rabun memisah. Mana memilih pemimpin (Ideal), mana memilih orang baik (Self). Akibatnya, cerdeik cendekia, kaum intelektual, kena prank. Belakangan siuman, tetiba teriak “Indonesia Gelap!”
Dan fakta seperti itulah, disesali Tom Nichols, di bukunya “Matinya Kepakaran” (2024), kini tergeletak depan saya. Anti intelektualisme tulisnya, itulah cara lain memutus demokrasi. Karena demokrasi yang stabil, di budaya apapun sangat tergantung pemahaman publik terhadap implikasi dari pilihan mereka sendiri.
“Pakar cenderung memikirkan isu dan kebijakan, kala keadaan tak berjalan baik. Tapi di waktu lain, saat kebijakan berjalan baik, tak sadar jika saat itulah negara dan pemerintahan menjalankan bisnisnya”, lanjut Nichols.